“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.” – Soekarno
Langit pagi di Pasaman Barat masih tertutup kabut tipis ketika saya tiba di Nagari Lingkuang Aua. Jalan raya ke Jorong Bandarejo agak becek oleh sisa hujan malam, menyusuri ladang sawit yang mengapit kiri-kanan. Di ujung sana, di tengah semak dan barisan batang tua, berdiri sunyi sebuah benteng dari batu andesit yang bentuknya nyaris tak kentara. Inilah dia, Situs Kerajaan Daulat Parit Batu—sebuah nama yang lebih banyak hidup dalam bisik para tetua, ketimbang dalam lembaran buku pelajaran sejarah.
Saya berdiri sejenak di hadapan struktur batu berlumut itu. Tak ada plakat peringatan, tak ada pagar pengaman. Hanya susunan batu persegi panjang, dengan tinggi sekitar dua meter, yang dibiarkan begitu saja—hanya dikenal oleh mereka yang ingin mengenalnya. Tapi di balik keheningan itulah, saya merasakan bahwa tempat ini menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar peninggalan kuno: ia menyimpan riwayat.
Dari Parit Batu ke Samudera Hindia
Dalam penuturan lisan yang hidup di tengah masyarakat adat, Parit Batu dulunya adalah kerajaan maritim yang berdiri sejak abad ke-16. Wilayah ini menjadi bagian penting dari jaringan dagang yang membentang dari Minangkabau ke pesisir barat Sumatera, bahkan ke semenanjung Malaka dan Samudera Hindia.
Pelabuhan-pelabuhan seperti Sasak dan Air Bangis menjadi titik lalu lintas pedagang dari berbagai bangsa: Melayu, Arab, Tionghoa, dan bahkan Portugis. “Dulu, kapal-kapal layar bersandar di sana membawa rempah, kain, dan keramik. Raja-raja Parit Batu memungut cukai dan mengatur perdagangan,” ungkap Tuanku Hendri Eka Putra, seorang tokoh adat dan keturunan langsung dari garis kerajaan.
Di masa kejayaannya, Kerajaan Daulat Parit Batu memiliki struktur pemerintahan khas Minangkabau: bergelar “Daulat yang Dipertuan”, para raja memimpin dengan tumpuan pada musyawarah dan adat. Salah satu nama besar yang hidup dalam ingatan masyarakat adalah Daulat Sakit Kaki, yang dipercaya memimpin dengan bijak sebelum wafat dan dimakamkan di dalam area benteng.
Benteng itu sendiri kini menjadi bukti paling kasatmata dari masa lampau tersebut. Struktur persegi panjang dengan ukuran sekitar 132 x 88 meter itu masih tegak, meski banyak bagian telah dirusak oleh waktu dan aktivitas manusia. Di dalamnya, ditemukan makam-makam leluhur, batu nisan tak bernama, serta fragmen keramik luar negeri yang menjadi bukti hubungan dagang masa lalu.
Ketika Jejak Sejarah Terbenam dalam Tanah Sawit
Sayangnya, jejak sejarah itu kini nyaris tertelan bumi. Secara fisik, situs ini sudah tidak lagi utuh. Banyak bagian benteng yang tertimbun tanah akibat erosi dan tidak adanya perlindungan. Pohon sawit tumbuh hingga ke dalam area situs, akar-akarnya merayap di sela-sela batu yang dulu dibangun dengan susah payah.
Di sisi lain, sebagian warga sekitar tidak memahami bahwa mereka hidup di atas warisan besar. “Saya pikir ini cuma batu biasa. Dulu waktu kecil sering main di sini,” ujar Dina (34), seorang ibu rumah tangga yang tinggal tak jauh dari situs. Minimnya sosialisasi dan edukasi sejarah membuat situs ini terpinggirkan bahkan dalam memori lokal.
Kondisi ini diperparah oleh ketidakhadiran perhatian pemerintah. Tak ada status resmi sebagai cagar budaya, tak ada upaya konservasi, apalagi kajian arkeologis komprehensif. Padahal, sebagaimana ditegaskan dalam UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, situs seperti ini layak mendapat perlindungan sebagai bagian dari identitas kebudayaan nasional.
Manjalang Daulat: Merawat Memori Lewat Tradisi
Di tengah keterasingan situs ini, ada sekelompok kecil orang yang masih menjaga nyala sejarah. Salah satu bentuk nyata dari upaya ini adalah tradisi tahunan yang disebut Manjalang Daulat—ziarah adat yang dilakukan oleh kaum adat dan keturunan raja ke makam leluhur di area situs.
Dalam prosesi tersebut, para peserta mengenakan pakaian adat, membawa sesaji, dan membaca doa-doa adat di bawah naungan pohon tua. “Ini cara kami mengingat dan menghormati leluhur. Meski zaman berubah, adat tetap hidup,” ujar Tuanku Hendri yang memimpin langsung upacara tersebut.
Upacara ini juga menjadi ruang belajar informal bagi generasi muda. Anak-anak diajak mengenal silsilah mereka, memahami nilai-nilai kepemimpinan adat, dan—yang paling penting—merasa memiliki atas warisan budaya mereka sendiri. Dalam tradisi seperti inilah sejarah menjadi hidup, bukan sekadar teks atau fosil masa lalu.
Potensi yang Menunggu Dihidupkan
Parit Batu sejatinya bukan hanya milik masyarakat Lingkuang Aua, bukan pula hanya milik suku Minangkabau. Ia adalah bagian dari narasi besar Indonesia sebagai bangsa yang pernah berdiri dengan kekuatan lokalnya, yang terhubung melalui jalur maritim, yang berdagang, bernegara, dan berbudaya sejak lama.
Potensi situs ini sangat besar. Jika digarap secara profesional, Parit Batu bisa menjadi situs edukatif, destinasi wisata sejarah, dan bahan riset arkeologis dan antropologis. Sayangnya, hingga saat ini belum ada langkah konkret ke arah itu. Pemerintah daerah belum menetapkan situs ini sebagai kawasan konservasi. Penelitian yang dilakukan pun bersifat sporadis dan tidak berkelanjutan.
Namun harapan masih ada. Beberapa akademisi dari Universitas Andalas dan UNP mulai melirik situs ini untuk dijadikan lokasi penelitian sejarah dan budaya. Komunitas pegiat sejarah juga mulai mendokumentasikan tradisi dan struktur situs sebagai upaya penyelamatan data. Yang dibutuhkan sekarang adalah keterlibatan negara—sebagai pengakuan, sebagai perlindungan.
Menolak Lupa, Merawat Akar
Menulis tentang Parit Batu bukan hanya menulis tentang batu dan makam tua. Ia adalah tentang identitas, tentang akar budaya, tentang bagaimana sebuah komunitas kecil bisa menjadi bagian dari jejaring global masa lampau. Ia juga tentang bagaimana kita hari ini bersikap terhadap warisan itu.
Dalam dunia yang bergerak cepat, kita cenderung melupakan hal-hal yang tidak viral, tidak gemerlap, atau tidak produktif secara ekonomi. Tapi sejarah tidak menuntut kita untuk selalu ingat, ia hanya menunggu untuk dikenang. Dan mengenang bukan berarti sekadar menghafal tanggal dan nama, tapi menghargai proses dan perjuangan di baliknya.
Ketika kita membiarkan situs seperti Parit Batu lenyap, kita bukan hanya kehilangan artefak, tapi kehilangan narasi—narasi bahwa di tanah ini pernah berdiri peradaban yang berdaulat, yang bermartabat, dan yang tahu ke mana ia melangkah.
Epilog: Warisan untuk Generasi Mendatang
Hari itu, sebelum meninggalkan situs, saya sempat berbincang dengan seorang anak muda yang kebetulan lewat. Ia berhenti, melihat saya mencatat dan memotret. “Abang wartawan ya? Ini tempat apa, bang?” tanyanya polos.
Saya terdiam. Sejenak hati saya teriris.
Situs Kerajaan Parit Batu tidak akan bertahan jika anak-anak muda seperti dia tidak tahu bahwa di tanah tempat mereka berpijak, pernah berdiri kerajaan yang disegani. Bahwa mereka bukan hanya pewaris tanah, tapi juga pewaris peradaban. Menolak lupa bukan hanya tugas sejarawan, bukan hanya urusan tokoh adat. Ia adalah tanggung jawab kita semua.
Dan barangkali, menulis ini—adalah bentuk kecil dari perlawanan terhadap lupa.[]\Red.
Disarikan oleh: DENNI MEILIZON
0 Komentar