CATATAN REDAKSI
SEJAK deklarasi berdirinya negara Israel pada tahun 1948, dunia menyaksikan perjalanan politik sebuah bangsa yang mengklaim dirinya sebagai pewaris tanah yang dijanjikan dalam kitab suci. Sebuah bangsa yang mengidentifikasi dirinya dengan warisan spiritual, agama, dan sejarah panjang umat Yahudi. Tapi di balik klaim itu, ada pertanyaan besar: sejauh mana negara Israel hari ini setia pada ajaran moral yang diwariskan dalam Kitab Suci mereka sendiri—termasuk Sepuluh Perintah Tuhan yang diberikan kepada Nabi Musa di Gunung Sinai?
Mari kita ingat kembali isi Sepuluh Perintah Tuhan yang menjadi fondasi moral tiga agama besar: Yahudi, Kristen, dan Islam. Secara sederhana, sepuluh perintah itu memuat larangan seperti membunuh, mencuri, berdusta, serakah terhadap milik orang lain, serta kewajiban menghormati Tuhan dan sesama manusia.
Lalu, mari kita lihat bagaimana realitas politik Israel hari ini berjalan.
“Jangan Membunuh” (Lo Tirtzach)
Perintah ini sangat jelas dan universal. Namun, dunia berkali-kali menyaksikan agresi militer Israel yang menewaskan ribuan warga sipil Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan. Atas nama keamanan, atas nama pertahanan, kekerasan seolah menjadi alat yang dibenarkan. Lantas, apakah itu masih sejalan dengan perintah Tuhan: "Jangan Membunuh"?
“Jangan Mencuri” (Lo Tignov)
Mencuri tidak hanya soal mengambil barang orang lain. Merebut tanah, menghancurkan rumah, mencaplok wilayah yang secara hukum internasional adalah milik bangsa lain—bukankah itu juga bentuk pencurian? Pemukiman ilegal di Tepi Barat adalah contoh nyata bagaimana batas antara keimanan dan kerakusan menjadi kabur.
“Jangan Mengucapkan Saksi Dusta” (Lo Ta'aneh Be'reacha Ed Shaker)
Perintah ini menuntut kejujuran, terutama dalam hubungan antar manusia. Tapi bagaimana dengan propaganda yang membalikkan fakta, menuduh korban sebagai pelaku, memutarbalikkan cerita hingga dunia bingung membedakan siapa penyerang dan siapa yang diserang?
“Jangan Mengingini Rumah Sesamamu... atau Apapun yang Menjadi Milik Sesamamu”
Hasrat ekspansionisme yang menginginkan wilayah lebih luas dengan alasan sejarah dan teologi, apakah tidak bertabrakan dengan perintah ini? Hasrat untuk terus memperluas pemukiman, mengontrol sumber daya, dan merebut hak hidup rakyat lain, apakah itu bukan cerminan dari “jangan mengingini milik sesamamu” yang dilanggar terang-terangan?
Ketika Kitab Suci Dipilih-Pilih
Ironi besar terjadi ketika ajaran kitab suci hanya dipakai sebagai legitimasi hak atas tanah, namun diabaikan ketika bicara tentang hak hidup, hak damai, dan hak keadilan bagi orang lain. Sepuluh Perintah Tuhan seolah jadi selektif: dipegang ketika menguntungkan, ditinggalkan ketika bertentangan dengan kepentingan politik dan ekspansi.
Agama, Moral, dan Politik yang Retak
Apa yang terjadi di Israel hari ini adalah potret bagaimana nilai-nilai spiritual bisa runtuh ketika berhadapan dengan kepentingan kekuasaan. Bahwa agama bisa direduksi menjadi alat pembenar kolonialisme, apartheid, dan kekerasan. Di satu sisi bicara tentang "tanah yang dijanjikan", di sisi lain menutup mata atas penderitaan rakyat yang terusir dari tanah mereka sendiri.
Penutup: Sebuah Cermin untuk Dunia
Kritik ini bukan hanya untuk Israel. Ini adalah cermin untuk seluruh dunia. Bahwa ketika agama dijadikan alat politik, maka kesuciannya hancur. Tuhan tidak pernah berpihak pada penindasan. Ajaran tentang tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berdusta adalah pesan universal, yang seharusnya berlaku untuk siapa pun, tanpa kecuali.
Dan sejarah akan terus menjadi saksi: bahwa tidak ada bangsa yang benar-benar diberkati jika berdiam di atas penderitaan bangsa lain.
1 Komentar
Tergiring hawa nafsu untuk merebut tanah yg di janjikan lalu membuat orang lain menderita
BalasHapus