Oleh: Denni Meilizon
Serangan buaya terhadap manusia kerap menjadi sorotan media, dengan narasi yang mengarah pada demonisasi hewan pemangsa ini. Namun, penyebab dari meningkatnya insiden tersebut lebih kompleks dan terkait erat dengan kerusakan habitat alami buaya, yang dipicu oleh ekspansi perkebunan sawit dan perubahan lanskap lainnya. Kasus yang terjadi di Pasaman Barat, Sumatra Barat, memberikan gambaran jelas tentang bagaimana konflik manusia-buaya semakin tak terhindarkan.
Serangan Buaya di Pasaman Barat: Gambaran dari Konteks Lebih Luas
Pada 13 Mei 2025, Depi Pahrizi (45) diterkam buaya saat menyeberangi kanal irigasi yang ada di perkebunan sawit milik PT Bakrie Pasaman Plantation, Kecamatan Koto Balingka. Korban, bersama rekannya Mukri (43), tengah menyeberang kanal tersebut ketika tiba-tiba seekor buaya muncul dan menyerang Depi. Serangan ini menambah panjang daftar insiden serupa di daerah tersebut, di mana pada 26 April 2025, seorang pria bernama Uyun (55) juga hilang setelah diterkam buaya di Sungai Batang Rosak, Koto Balingka.
Kedua peristiwa ini bukanlah kejadian yang terisolasi, melainkan bagian dari tren yang lebih besar: konflik antara manusia dan satwa liar, yang semakin meningkat seiring dengan perubahan lanskap akibat aktivitas manusia. Terlebih, keberadaan buaya di wilayah yang semakin terfragmentasi ini menjelaskan bagaimana konflik ini dapat terjadi.
Kerusakan Habitat: Akar Konflik yang Sering Terabaikan
Perkebunan sawit di Pasaman Barat telah berkembang pesat selama beberapa dekade terakhir, merubah lanskap alam yang dulunya menjadi habitat alami bagi banyak spesies, termasuk buaya. Kanal-kanal irigasi yang dibangun untuk mendukung industri ini, sering kali memutus jalur migrasi alami buaya, memaksa mereka beradaptasi dengan memasuki wilayah yang lebih dekat dengan aktivitas manusia.
Buaya, sebagai predator puncak dalam ekosistem perairan, sangat bergantung pada ekosistem sungai, rawa, dan mangrove yang bersih dan stabil. Ketika habitat mereka terganggu, mereka terpaksa mencari tempat baru untuk bertahan hidup—yang tak jarang berujung pada interaksi berbahaya dengan manusia. Namun, buaya sendiri bukanlah hewan yang secara alami agresif terhadap manusia. Serangan yang terjadi sering kali merupakan reaksi terhadap ancaman atau gangguan terhadap habitat mereka.
Narasi Media: Memahami Konflik dalam Konteks Ekologis
Dalam banyak kasus, media lebih cenderung menyoroti serangan buaya terhadap manusia dengan narasi yang mengarah pada citra buaya sebagai hewan buas dan berbahaya. Namun, penting untuk menyadari bahwa serangan ini bukanlah perilaku yang terjadi tanpa alasan. Buaya bertindak berdasarkan naluri bertahan hidup, bukan niat jahat. Penyalahgunaan narasi semacam ini hanya akan memperburuk ketegangan dan menghambat upaya konservasi.
Peningkatan literasi ekologis masyarakat menjadi kunci dalam mengurangi konflik ini. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang perilaku alami buaya, bagaimana mereka berinteraksi dengan lingkungan mereka, dan bagaimana perubahan habitat manusia dapat memengaruhi keseimbangan ekosistem. Dengan pemahaman ini, masyarakat akan lebih siap menghadapi potensi konflik dengan cara yang lebih bijaksana.
Pendekatan Konservasi yang Lebih Holistik: Kearifan Lokal sebagai Kunci
Salah satu solusi yang sering terabaikan adalah memanfaatkan kearifan lokal dalam pendekatan konservasi. Beberapa komunitas di Indonesia telah lama memandang buaya sebagai bagian dari keseimbangan alam yang harus dijaga. Di Kalimantan, misalnya, beberapa suku Dayak memiliki tradisi untuk menghormati buaya sebagai makhluk keramat yang menjaga kesucian sungai mereka. Pendekatan berbasis budaya seperti ini bisa menjadi kunci untuk mengurangi ketegangan antara manusia dan satwa liar.
Selain itu, konservasi berbasis kearifan lokal dapat membantu menciptakan kesadaran komunitas yang lebih mendalam terhadap pentingnya menjaga ekosistem alami buaya, serta mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam upaya pelestarian lingkungan.
Langkah Strategis untuk Mengurangi Konflik dan Melindungi Buaya
Untuk mengatasi masalah ini secara lebih komprehensif, ada beberapa langkah yang perlu diambil oleh berbagai pihak:
1. Perlindungan Habitat Alami Buaya
Pemerintah dan sektor swasta perlu bekerja sama untuk melindungi kawasan rawa, sungai, dan mangrove yang menjadi habitat buaya. Pembukaan lahan untuk perkebunan harus mempertimbangkan aspek ekologis, dengan memperhatikan jalur pergerakan satwa liar.
2. Peningkatan Edukasi dan Literasi Ekologis
Program pendidikan berbasis komunitas yang mengedukasi masyarakat tentang pentingnya ekosistem dan perilaku alami buaya harus diperkenalkan. Pemahaman ini akan membantu masyarakat lebih siap dalam menghadapi konflik tanpa merugikan kedua belah pihak.
3. Pengelolaan Industri yang Berkelanjutan
Perusahaan perkebunan harus lebih bertanggung jawab terhadap dampak ekologis dari aktivitas mereka. Kajian dampak lingkungan yang lebih mendalam harus menjadi syarat utama dalam setiap proyek pengembangan industri ekstraktif dan perkebunan.
4. Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Konservasi
Pendekatan berbasis kearifan lokal yang menghormati buaya sebagai bagian dari tradisi dan budaya masyarakat dapat menjadi model konservasi yang lebih efektif. Kearifan ini, jika diberdayakan, dapat mengurangi ketegangan dan meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pelestarian.
5. Pengembangan Sistem Peringatan Dini untuk Konflik Satwa
Pemerintah perlu membentuk sistem peringatan dini yang melibatkan masyarakat dalam memantau potensi konflik antara manusia dan buaya. Sistem ini harus terkoordinasi dengan baik, dengan melibatkan tim mitigasi yang terlatih dan responsif terhadap situasi darurat.
6. Penetapan Zonasi Lindung bagi Habitat Buaya dalam Dokumen Tata Ruang
Salah satu langkah yang perlu diambil adalah penetapan kawasan lindung untuk habitat buaya dalam dokumen tata ruang daerah. Dengan memasukkan habitat buaya sebagai zona perlindungan, kita dapat memastikan bahwa ekosistem yang mendukung kelangsungan hidup buaya tetap terjaga dari konversi lahan yang berlebihan. Zonasi ini juga dapat mengurangi konflik antara manusia dan buaya dengan mengatur area-area yang harus tetap tidak tersentuh oleh pembangunan.
Menghormati Peran Buaya dalam Ekosistem
Konflik manusia-buaya yang terjadi di Pasaman Barat bukan hanya masalah individu atau spesies, tetapi cermin dari masalah yang lebih besar—kerusakan ekosistem dan perubahan iklim yang memengaruhi seluruh jaringan kehidupan. Untuk menjaga keseimbangan antara pembangunan dan konservasi alam, perlu ada perubahan paradigma dalam cara kita memahami dan menghormati satwa liar, termasuk buaya.
Dengan pendekatan yang lebih holistik dan berbasis bukti, serta melibatkan masyarakat dalam pelestarian habitat, kita tidak hanya melindungi buaya, tetapi juga menjaga kelangsungan hidup kita sendiri. Keberlanjutan ekosistem perairan yang sehat adalah investasi untuk masa depan yang lebih harmonis antara manusia dan alam.
---
Referensi:
https://radarsurabaya.jawapos.com/nasional/776007893/saat-nyeberang-sungai-warga-diterkam-buaya-di-perkebunan-sawit-pasaman-barat-sumbar
https://sumbar.inews.id/berita/ngeri-tim-sar-temukan-potongan-kaki-korban-serangan-buaya-di-pasaman-barat
0 Komentar