Oleh: Surya
PAGI ITU di pinggiran Muara Sasak, aku menyusuri jalan setapak menuju kebun untuk mengambil jerami dan kiambang, tumbuhan air yang kami gunakan sebagai pupuk hijau. Udara masih basah oleh embun, dan mentari mulai menghangatkan daun-daun liar yang tumbuh tak beraturan di pinggir sawah. Di tengah jalan, aku melihat seorang pemuda memetik cabai sambil mendengarkan musik dari ponselnya. Lagunya: Van Halen, tak biasa terdengar di ladang.
Namanya Wahyudi. Bersama orang tuanya, ia menumpang berkebun di sana. Ketika aku menyapa dan bertanya tentang kebun cabainya yang mulai meranggas, ia menjawab, “Sekarang ikut bertani karena tak ada kerja lain.”
Kalimat itu menggema di benakku. Petani—profesi yang dulu menjadi tulang punggung peradaban, kini hanya menjadi pelarian ketika semua pintu tertutup. Menjadi petani hari ini seolah bukan pilihan bebas, tapi keterpaksaan.
Pertanian Hari Ini: Antara Ketidakpastian dan Kehilangan Arah
Wahyudi dan ayahnya, Pak Sarjio, adalah dua representasi dari kegelisahan banyak petani di negeri ini. Di pondok mereka, kami berbincang panjang tentang musim, hama, dan panen yang tak menentu. Pak Sarjio masih meyakini bahwa kunci keberhasilan bertani adalah penggunaan pupuk dan pestisida kimia, sementara Wahyudi mulai melirik sistem organik yang ia pelajari dari internet dan pelatihan singkat.
Namun, dari diskusi mereka, tampak satu hal yang lebih dalam: kebingungan identitas pertanian. “Organik atau kimia? Mana yang benar?” tanya Wahyudi.
Pertanyaan itu bukan soal metode. Itu adalah cerminan dari kekosongan arah. Para petani kita hari ini kerap hanya menjadi ekor dari kebijakan pertanian yang berorientasi pasar dan industri. Mereka dijejali slogan, didorong membeli produk ini dan itu, tapi tak pernah diajak memahami akar dari sistem yang mereka jalani.
Di sisi lain, sistem pertanian organik pun seringkali tak lepas dari komodifikasi. Label “organik” dijual dengan harga tinggi, namun prosesnya tetap menyisakan beban berat bagi petani kecil. Alih-alih menjadi alternatif pembebasan, ia bisa menjadi jebakan baru dalam bungkus yang berbeda.
Ketika Istilah Menyesatkan dan Pengetahuan Ditinggalkan
Kita terjebak dalam dikotomi palsu: seolah kimia pasti jahat dan organik pasti baik. Padahal, realitas tak sesederhana itu.
Kimia bukan musuh. Tubuh kita pun terdiri dari senyawa kimia. Air adalah H₂O. Pupuk kandang pun mengandung nitrogen dan fosfor. Begitu pula dengan racun alami seperti akar tuba, yang secara kimiawi mengandung senyawa berbahaya bagi sistem saraf serangga. Jadi, pertanyaannya bukan “alami atau buatan,” melainkan seberapa sadar kita mengelola keseimbangan dalam sistem pertanian kita?
Di titik ini, kita mendapati kegagalan besar dalam sistem pendidikan dan penyuluhan pertanian kita. Pengetahuan lokal yang diwariskan turun-temurun tercerabut, namun pengganti dari sistem modern belum sepenuhnya dipahami. Akibatnya, lahirlah generasi petani yang berada di ruang hampa antara kearifan yang hilang dan pengetahuan yang belum dikuasai.
Ekologi yang Terluka dan Manusia yang Terpinggirkan
Kerusakan tanah, matinya mikroorganisme, hilangnya serangga penyerbuk, dan runtuhnya sistem ekologi pertanian adalah dampak dari pendekatan pertanian yang reduksionis. Alam diperlakukan sebagai objek produksi semata. Kita lupa bahwa pertanian bukan hanya soal hasil panen, tapi juga keberlangsungan sistem kehidupan.
Dalam filosofi agraris Jawa kuno, bertani adalah laku spiritual. Menanam bukan hanya menaruh benih ke tanah, tapi juga menanam niat, doa, dan keharmonisan. Ada relasi simbolik antara petani, tanah, tumbuhan, dan langit. Tradisi seperti nyadran, sedekah bumi, hingga wiwitan bukan sekadar upacara adat, tapi manifestasi dari kesadaran ekologis yang mendalam.
Kini, ritual itu nyaris hilang. Yang tersisa hanyalah rutinitas industrial—tanam, semprot, panen, jual. Lalu ulangi lagi. Tanpa makna, tanpa relasi, tanpa penghormatan.
Menuju Pertanian Merdeka: Jalan Pulang yang Terlupakan
Dari perbincangan dengan Pak Sarjio dan Wahyudi, aku merenung: mungkin yang kita butuhkan bukan pertanian organik atau kimia. Bukan pula pertanian modern atau tradisional. Yang kita butuhkan adalah pertanian yang merdeka.
Apa itu pertanian merdeka?
Pertanian merdeka adalah sistem bertani yang:
1. Mandiri, tidak bergantung sepenuhnya pada industri dan pasar global.
2. Berbasis pengetahuan lokal, namun terbuka terhadap sains modern.
3. Berpijak pada keseimbangan ekologis, bukan eksploitasi.
4. Menghidupkan relasi spiritual dan sosial antara manusia dan alam.
5. Menempatkan petani sebagai subjek utama, bukan sekadar pelaksana kebijakan atau konsumen produk agribisnis.
Pertanian merdeka mengandaikan adanya ruang dialog antara tradisi dan inovasi. Ia menempatkan petani sebagai ilmuwan lapangan, sekaligus penjaga warisan pengetahuan bumi. Ia tidak anti kemajuan, tetapi juga tidak buta terhadap jebakan pasar.
Waktunya Membuka Mata dan Hati
Hari itu aku pamit dari pondok kecil Pak Sarjio. Wahyudi masih membersihkan sisa daun cabai yang layu. Langit mulai mendung. Aku menoleh ke belakang, lalu berkata lirih, “Kita harus mulai dari kita sendiri.”
Jika para pemuda seperti Wahyudi diberi ruang untuk belajar dan bereksperimen, jika para petani seperti Pak Sarjio tidak dipaksa bergantung pada sistem yang tidak mereka pahami, maka jalan pulang menuju pertanian yang utuh bukan mustahil ditemukan.
Pertanian bukan sekadar soal pangan. Ia adalah soal peradaban.
Dan barangkali, satu-satunya cara untuk merawat bumi—adalah kembali menghormati tanah seperti menghormati ibu sendiri.[]
---
Catatan redaksi:
Tulisan ini merupakan bagian dari refleksi lapangan dan catatan pribadi penulis yang juga aktif dalam komunitas petani mandiri dan penggiat agroekologi. Penulis tinggal di Maligi Pasaman Barat.
0 Komentar