Oleh:
Yondrizal
Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam
Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat
SAAT ini, berbagai upaya untuk membentuk karakter telah dilakukan, tetapi masih sedikit yang mengintegrasikan neurosains atau ilmu otak. Pendidikan karakter sejatinya merupakan pendidikan yang berfokus pada pengembangan otak. Karakter religius merupakan salah satu dari 18 karakter yang dirumuskan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan karakter ini lebih dalam dalam proses pembelajaran agar nilai religius dapat tertanam dalam kehidupan sehari-hari siswa.
Menurut Kementerian Pendidikan Nasional, karakter religius adalah sikap dan perilaku yang menunjukkan kepatuhan dalam melaksanakan ajaran agama yang dianut, serta toleransi terhadap pelaksanaan ibadah agama lain. Selain itu, karakter ini juga mencerminkan kemampuan untuk hidup rukun dengan penganut agama lain.
Menurut Abdul Majid, pendidikan karakter tidak berdiri sendiri sebagai satu mata pelajaran, tetapi terintegrasi dalam kegiatan pengembangan diri, budaya sekolah, dan mata pelajaran. Dalam upaya pembentukan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia dalam diri siswa, terdapat tiga tahapan strategi yang harus dilalui, di antaranya:
-
Moral Knowing / Learning to Know
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan karakter. Tujuan tahapan ini adalah penguasaan pengetahuan tentang nilai-nilai. -
Moral Loving / Moral Feeling
Belajar mencintai dengan melayani orang lain, mencintai dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan kebutuhan terhadap nilai-nilai akhlak mulia. -
Moral Doing / Learning to Do
Inilah puncak keberhasilan penanaman karakter, yaitu saat siswa mempraktikkan nilai-nilai akhlak mulia dalam perilaku sehari-hari. Siswa menjadi sopan, ramah, hormat, penyayang, jujur, adil, dan sebagainya.
Neurosains, menurut Suyadi, adalah ilmu yang mempelajari sistem saraf. Dalam hal ini, neurosains merupakan bidang ilmu yang fokus pada studi ilmiah mengenai sistem saraf. Oleh karena itu, neurosains sering kali disebut sebagai ilmu yang meneliti otak serta berbagai fungsi yang berkaitan dengan saraf. Sementara menurut Dale H. Schunk, neurosains pembelajaran merupakan ilmu pengetahuan tentang hubungan sistem saraf dengan pembelajaran dan perilaku.
Menurut Taufiq Pasiak, karakter religius manusia terjadi di bagian otak yang disebut dengan lobus temporalis. Ia merupakan satu dari empat lobus utama pada otak. Lobus temporalis terletak di bawah sylvian fissure dan di anterior korteks oksipital serta parietal. Sylvian fissure berisi jaringan yang membentuk insula yang meliputi gustatory cortex. Superior temporal sulcus memisahkan gyrus superior dan middle, serta berisi jumlah yang signifikan dari neokorteks yang dapat dibagi dalam beberapa region. Korteks dari superior temporal sulcus bersifat multimodal, yakni menerima input dari auditory, visual, dan region somatik.
Pendidikan karakter keagamaan memiliki peranan yang sangat vital dalam membentuk kepribadian siswa secara menyeluruh. Di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan sosial budaya, nilai-nilai keagamaan menghadapi berbagai tantangan dalam proses internalisasi. Banyak siswa yang sudah memahami ajaran agama secara kognitif, tetapi belum sepenuhnya merasakan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mengindikasikan bahwa untuk menginternalisasikan nilai-nilai keagamaan dengan baik, diperlukan pendekatan yang lebih mendalam yang tidak hanya fokus pada aspek kognitif, tetapi juga menyentuh dimensi afektif dan psikomotorik.
Teori neurosains, menurut Suryani dan Zuhriyah, adalah metode pendidikan baru yang berfokus pada kinerja saraf otak siswa. Pendidik sering kali tidak mengetahui tentang kinerja saraf otak siswa mereka saat mengajar, hanya mengikuti keinginan mereka dan tidak memperhatikan potensi otak siswa untuk membantu mereka belajar. Untuk memahami kemampuan siswa dan mengoptimalkan kinerja saraf otak, guru harus memiliki pemahaman tentang teori neurosains.
Proses pembelajaran yang menggunakan teori atau ilmu neurosains, menurut Suprapto, adalah suatu proses yang mengacu pada kemampuan merespons seluruh bagian otak, termasuk sistem sarafnya, untuk dapat bekerja dan digunakan secara maksimal. Teori ini bertitik tumpu pada bagaimana proses atau cara kerja otak dalam berpikir sehingga dapat mengolah informasi atau pengetahuan untuk menghasilkan sikap, tindakan, dan lain-lain. Kesimpulan dari tugas neurosains itu sendiri adalah menjelaskan bagaimana aktivitas manusia diolah dalam otak.
Penerapan konsep pendekatan neurosains dalam dunia pendidikan meliputi perancangan kurikulum yang memperhatikan perkembangan otak dan strategi pengajaran berbasis otak. Pengelolaan kelas berbasis emosi positif bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung rasa aman, nyaman, dan antusias.
Pendekatan neurosains yang memperhatikan aspek afektif dan neuropsikologis dalam pendidikan terbukti lebih efektif dalam membentuk sikap dan karakter. Pendekatan ini juga membantu guru mendesain pembelajaran agama yang menyenangkan, reflektif, dan berbasis pengalaman nyata, yang semuanya dapat mempercepat dan memperkuat internalisasi nilai-nilai agama.
Berdasarkan hal tersebut, pendekatan neurosains memberikan kontribusi signifikan dalam memperkuat internalisasi nilai-nilai keagamaan pada siswa. Dengan memahami cara kerja otak dalam menerima, memproses, dan menyimpan nilai, guru dapat merancang strategi pembelajaran yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan agama, tetapi juga menyentuh sisi emosional dan spiritual siswa. Hal ini berdampak pada pembentukan karakter religius yang lebih mendalam dan berkesinambungan.[]
0 Komentar