Sekolah; Dunia Guru, Dunia Murid

ilustrasi oleh open.ai


Penulis: Putra Hadi (Ketua PD IPM Pasaman Barat)

SEKOLAH idealnya menjadi ruang yang menyenangkan untuk belajar dan bertumbuh. Namun, realitas di banyak lembaga pendidikan formal justru memperlihatkan suasana yang kaku, menekan, bahkan menjauhkan makna sejati dari proses belajar itu sendiri. Kelas menjadi tempat yang penuh hafalan, minim dialog, dan miskin keterlibatan emosional.

Hingga kini, paradigma pendidikan kita masih terlalu berorientasi pada hasil akhir. Penilaian berbasis ujian dan angka menjadi tolok ukur utama, sementara proses pembelajaran yang dialogis dan menyentuh aspek kemanusiaan kurang mendapat perhatian. Hafalan lebih dihargai daripada pemahaman, dan kecepatan mengingat dianggap lebih penting daripada kedalaman berpikir. Konsekuensinya, siswa belajar demi nilai, bukan demi pengetahuan.

Celakanya, dalam lingkungan semacam ini, kesalahan kerap dipandang sebagai bentuk kegagalan, bukan bagian dari proses pembelajaran. Seorang siswa yang tertidur di kelas atau absen karena kegiatan organisasi sering kali langsung dilabeli negatif—malas, tidak disiplin, atau tidak bertanggung jawab—tanpa adanya upaya memahami konteks atau mendalami motivasi di balik tindakan tersebut.

Padahal, pendidikan sejatinya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi). Sebagaimana yang digagas Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membangun hubungan dialogis antara guru dan murid, bukan relasi kuasa satu arah. Dalam konteks ini, guru memiliki peran sentral, bukan hanya sebagai pengajar, tetapi juga sebagai fasilitator yang menghadirkan rasa aman, menumbuhkan motivasi, dan membuka ruang berpikir kritis.

Guru yang mampu menciptakan suasana belajar yang suportif dan inklusif akan menjadi kunci dari keberhasilan pendidikan. Ketika siswa merasa dihargai, didengar, dan dimengerti, mereka tidak hanya tumbuh dalam kecerdasan intelektual, tetapi juga dalam kematangan emosional dan karakter. Inilah hakikat pendidikan yang sesungguhnya.

Sudah saatnya kita membenahi sistem pendidikan agar lebih manusiawi. Sekolah tidak boleh lagi menjadi pabrik nilai, melainkan harus menjadi taman belajar yang memuliakan proses dan menghidupkan rasa ingin tahu. Siswa bukan angka. Mereka adalah manusia yang layak dihargai dan dipahami.[]

Posting Komentar

0 Komentar