Cinta Diam

(llustrasi oleh open.ai)

Oleh: Denni Meilizon 

ADA satu hal yang perlahan saya pelajari dalam kehidupan rumah tangga: tidak semua cinta membutuhkan suara. Kadang, cinta yang paling jujur justru hadir dalam diam—diam yang saling memahami, diam yang tidak membisu, tetapi justru penuh makna. Seperti yang dikatakan oleh Martin Heidegger, bahasa adalah rumah bagi keberadaan (being), namun tak semua keberadaan harus dituturkan; sebagian justru paling utuh ketika dirasakan dalam keheningan. Keheningan itu bukanlah kekosongan, melainkan ruang yang dipenuhi oleh pemahaman yang lebih dalam dari kata-kata itu sendiri.

Ada kejadian menarik, saya pernah melihat sepasang suami istri yang duduk berdampingan tanpa bicara. Aneh tentunya, bukan? Tetapi percaya atau tidak, keheningan yang saya saksikan itu tidak terasa dingin. Justru ada sesuatu yang hangat di antara mereka. Mungkin itulah bentuk komunikasi terdalam: ketika detak jantung saling menjawab, ketika lelah yang tak terucap dipahami tanpa diminta. Ini bukan hanya bentuk empati, tetapi intentionality-nya Edmund Husserl, yakni kesadaran yang tertuju pada yang lain bukan lewat logika, tetapi afeksi dan perhatian yang tulus. Dalam diam, mereka berbicara dengan hati, dan menurut saya itu cukup.

Saya dulu mengira  pernikahan hanyalah tentang akad, tentang berbagi tempat tidur dan rezeki. Tapi kini aku paham—lebih dari itu, pernikahan adalah perjumpaan dua eksistensi yang berserah pada kehendak transendental. Ikrar bukan hanya pernyataan legal atau sosial, tetapi penegasan eksistensial: bahwa dua jiwa memilih berjalan bersama dalam kesadaran akan keterbatasannya, menuju satu kekekalan. Ini adalah perjalanan spiritual yang mengarah pada penyatuan dalam keberagaman, di mana dua individu yang terpisah memilih untuk bersatu dalam ketidaksempurnaan mereka. Itulah sisi paling indah daripada pernikahan, dan dari hal itulah ia menjadi sakral.

Perjalanan pernikahan kelak menumbuhkan rasa hormat, bukan hanya dari kebiasaan mendengar, tetapi dari kesungguhan menyimak. Sebab tidak semua luka bisa dijelaskan dengan kata; kadang, luka hanya bisa dibaca dari senyum yang dipaksakan. Setidaknya begitu pernah diungkap Emmanuel Levinas, filsuf asal Perancis yang wafat tahun 1995 itu. Lanjutnya, wajah yang lain menuntut tanggung jawab etis yang mendalam—dan tebaklah, wajah itu tak selalu bicara, namun ia selalu hadir. Maka dalam setiap sikap diam, niscaya ada percakapan batin yang lebih intens  daripada sekadar membunyikan suara.

Seorang suami, bukan hanya pemimpin. Ia adalah penjaga jiwa istrinya. Ia belajar membedakan kapan harus bicara dan kapan cukup menggenggam tangan yang gemetar. Ia belajar hadir tanpa menguasai, menyayangi tanpa mengendalikan. Di sinilah peran etisnya diuji, karena cinta sejati bukanlah kekuasaan, tetapi kehadiran. Seorang suami yang bijak adalah mereka yang tahu bahwa cinta bukan tentang dominasi, tetapi tentang memberi ruang bagi yang lain untuk berkembang, untuk menjadi diri mereka yang sejati. Seperti dalam filsafat Sartre tentang being-for-others, cinta adalah kesadaran akan keberadaan satu sama lain, yang memanifestasikan diri dalam sikap saling menghargai.

Seorang istri, bukan hanya pendamping. Ia adalah penjaga damai di dada suaminya. Ia menangkap isyarat kelelahan yang tersembunyi dan menerjemahkannya menjadi ketenangan, tanpa satu pun pertanyaan. Dalam fenomenologi, istri ini adalah wajah kasih yang tidak menuntut, namun mengerti. Ia adalah kesadaran yang lebih dalam tentang kebutuhan yang tak terucapkan, yang hadir dalam bentuk perhatian tanpa syarat. Inilah cinta yang tak menegaskan diri, tetapi mengizinkan ruang bagi yang lain untuk tetap menjadi diri, tanpa terdesak oleh ekspektasi.

Pertengkaran, jika dilihat dengan mata cinta, bukanlah jurang, melainkan jendela untuk saling menyelami. Karena cinta sejati bukanlah tentang menyatukan pendapat, tetapi menyatukan kesadaran—bahwa kita adalah makhluk rapuh, berubah, dan tak sempurna. Dalam pandangan Heidegger, kita semua adalah makhluk yang terbuka pada keberadaan lain, dan melalui konflik kita belajar untuk menjadi lebih sadar akan diri sendiri dan satu sama lain. Di sinilah cinta diuji: apakah ia mampu bertahan tidak hanya di malam yang hangat, tetapi juga di pagi yang dingin dan sunyi? Di setiap ketegangan, kita belajar tentang ketahanan dan kelembutan yang menyatu.

Komunikasi batin dalam pernikahan itu seperti sujud adanya tetapi dalam hati. Ia tak terlihat, tak terdengar, tetapi terasa. Bukan untuk meminta dimengerti, tetapi untuk memahami. Bukan untuk menguasai, tetapi untuk hadir. Dalam bahasa Martin Buber (wafat th 1965, terkenal dengan konsep "I-Thou") ini adalah perjumpaan "Aku-Engkau" yang utuh, di mana yang lain tidak dijadikan objek, tetapi disambut sebagai subjek yang sejajar. Kehadiran yang tulus tidak membutuhkan kata-kata, karena ia sudah tertanam dalam setiap tindakan, setiap detak jantung yang berirama bersama. Cinta dalam pernikahan bukan sekadar penghubung antara dua tubuh, tetapi dua jiwa yang berjalan berdampingan dalam kesadaran penuh.

Karena pada akhirnya, cinta bukanlah sekadar dua insan yang berjalan berdampingan, tetapi dua jiwa yang bersujud bersama—dalam diam yang paling jujur, di hadapan Tuhan yang Maha Mengetahui isi hati hamba-Nya. Di sinilah cinta menemukan kesempurnaannya: bukan dalam pencapaian duniawi, tetapi dalam pengakuan penuh terhadap keterbatasan dan keindahan bersama. Cinta adalah perjalanan menuju Tuhan, di mana dua jiwa menemukan kedamaian sejati dalam kebersamaan yang saling melengkapi.[]

-- Denni Meilizon, Simpang Empat 4 Mei 2025

Posting Komentar

0 Komentar