Menjadi Diri Sendiri, Autentik ataukah Ekspektasi Belaka?

oleh :  HADI SAPUTRA (Pelajar, Ketua IPM Pasaman Barat)

PADA era serba digital dan maraknya media sosial hari ini, standar hidup seseorang seringkali ditentukan oleh tren yang beredar dan tuntutan untuk terlihat sama dengan mayoritas orang. 

Banyak anak muda menjadikan tren media sosial sebagai tolok ukur dalam menjalani hidupnya, sehingga mereka merasa sulit untuk menjadi diri mereka sendiri yang sesungguhnya. 

Arus tren yang terus berubah kerap memaksa seseorang untuk menyesuaikan diri, hingga mengabaikan jati dirinya yang sejati. Dalam kondisi seperti ini, muncul dilema : Apakah kita harus mengikuti standar sosial demi memenuhi tuntutan sosial, ataukah tetap memilih untuk menjadi diri sendiri apa adanya?

Tekanan sosial adalah dorongan dari lingkungan sekitar yang membuat seseorang merasa harus menyesuaikan prilaku, pemikiran, atau sikap mereka dengan yang dianggap normal oleh masyarakat. 

Sifat ingin diterima dan diakui merupakan sifat dasar manusia, sehingga secara alami cenderung mengikuti apa yang dianggap benar oleh kelompok atau masyarakat. 

Tekanan bisa jadi datang dari keluarga, teman, atau komunitas. Tetapi, tekanan sosial telah hadir dalam bentuk baru yang lebih kompleks. “Media sosial”, misalnya, menciptakan tekanan untuk tampil secara ideal, yang ideal itu belum tentu sesuai dengan idealnya bagi diri sendiri. Sehingga bisa merasa rendah diri bahkan gangguan mental ketika tidak mampu memenuhi standar yang ditetapkan oleh media sosial.

Menjadi diri sendiri artinya hidup sesuai dengan nilai-nilai dan kepribadian yang kita miliki tanpa harus berpura-pura demi menyenangkan orang lain dan menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.

 Kebanyakan dari kita ingin menghindari penolakan, fokus pada risiko penolakan bisa membuat kita tidak bahagia.

 Ketakutan akan penolakan membuat kita fokus pada apa yang diinginkan orang lain, sehingga kita sulit untuk tetap jadi diri sendiri. Sedangkan seseorang yang hidup dengan menjadi diri sendiri  memiliki hubungan sosial yang lebih jujur dan bermakna, karena tidak dibangun atas kepura-puraan. 

Memang bukan hal yang mudah untuk menjadi diri sendiri tetapi bukan berarti mustahil. Orang yang hidup menjadi dirinya sendiri memiliki mental yang sehat dan lebih bahagia.

Dilema antara menjadi diri sendiri dan memenuhi ekspektasi sosial sering menjadi pertempuran batin yang berat. Di sisi lain, ketakutan akan penolakan, di beda-bedakan, atau dianggap tidak normal jika tidak sesuai dengan harapan orang lain. 

Misalnya, seorang remaja yang memiliki bakat seni mungkin merasa tertekan memilih jurusan berbeda dari keinginannya demi memenuhi tuntutan orang tua. Sehingga menciptakan tekanan psikologis. 

Orang tua harusnya mengerti mana bakat dan talenta anaknya bukan malah menjadikan anak sebagai alat untuk memenuhi ekspektasinya. Meski begitu, tidak semua ekspektasi sosial harus ditolak, sebagian ekspektasi sosial bisa menjadi masukan positif, selagi tidak membuat seseorang kehilangan identitas dirinya. 

Maka dengan derasnya arus tren dan tekanan sosial, menjadi diri sendiri adalah sebuah keberanian yang tidak dimiliki semua orang. 

Tekanan sosial memang sulit dihindari, tetapi menjadi diri sendiri lebih baik demi kesehatan mental dan hidup yang bermakna.

 Namun, kita tentu tidak harus selalu menolak ekspektasi sosial, tetapi diperlukan kebijakan untuk memilih mana yang sejalan dengan nilai-nilai pribadi. 

Inilah era yang serba menuntut, semoga kita mampu berdiri teguh menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri.[]

Posting Komentar

0 Komentar