BUYA HAMKA merupakan seorang tokoh progresif dan modernis yang pemikirannya tidak lekang dimakan waktu. Buya telah banyak melahirkan karya dan pemikiran yang memang sudah diakui oleh dunia. Ia lahir di nagari nan indah, Sungai Batang, di tepian Danau Maninjau pada 16 Februari 1908.
‘Hamka’ merupakan akronim dari nama asli beliau yaitu Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Buya Hamka memang terlahir dari trah keluarga ulama dan pemikir. Ayahnya masyhur dikenal sebagai Haji Rasul yang ketokohannya tidak diragukan lagi. Bagaimana tidak, ia merupakan pendiri perguruan Sumatera Thawalib.
Buya Hamka merupakan inspirator bagi kita semua. Ia menginspirasi banyak hal karena keteladanan dan pemikirannya yang otentik. Ia dapat kita jadikan sebagai role model dalam kehidupan. Banyak pembelajaran yang bisa dipetik dari kehidupannya. Sehingga tidak heran, ia diberi gelar kehormatan dari berbagai universitas ternama dunia. Bahkan namanya diabadikan dengan didirikannya Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di tanah kelahirannya.
Sang Penggerak Literasi Progresif dan Visioner
Buya Hamka merupakan sosok yang cinta menulis. Bahkan dalam berbagai literatur ia juga dikenal sebagai seorang jurnalis di Majalah Panji Masyarakat. Buya lah yang mendobrak Ranah Minang dengan berbagai karyanya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat Minangkabau terkenal dengan tradisi lisannya (oral tradition). Berbeda dengan masyarakat Jawa yang banyak mendokumentasikan budayanya melalui Babad Tanah Jawa. Budaya masyarakat Minangkabau justru banyak terdapat dan ditemukan pada tradisi penuturan (oral tradition), seperti kaba, randai, pepatah, pantun, atau tambo (ada yang tertulis).
Oral Tradition merupakan sekumpulan ungkapan serta wacana sebagai sarana ekspresi, pengenalan norma, nilai, sikap, dan estetika dalam masyarakat. Tradisi semacam ini dalam masyarakat
Minangkabau tidak hanya merefleksikan adat istiadat, budaya, dan sejarah, akan tetapi berfungsi sebagai alat pengendali prilaku. Orang yang mahir dalam tradisi ini mendapat penghormatan yang lebih dari masyarakat, seperti ninik mamak dan penghulu (Dewi, 2010)
Nah, di sinilah peran Buya Hamka sebagai sosok cendikiawan yang menyampaikan nilai-nilai Minangkabau melalui tulisan-tulisannya. Banyak karya Buya Hamka yang dilatarbelakangi oleh adat-istiadat kebudayaan orang Minang. Seperti "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" yang terbit tahun 1938, ini menceritakan mengenai sistem matrelinial yang begitu kuat di Ranah Minang. Ada juga novel "Di Bawah Lindungan Ka’bah" (1936) dan "Merantau ke Deli" (1940) yang merupakan karya Buya Hamka.
Yang lebih penting dan menarik di sini ialah bahwa Buya Hamka menuliskan novel-novelnya dengan gaya khasnya yang memadukan nalar kritis dalam penyampaian cerita. Melalui gaya penulisan konflik ia menyampaikan betapa kuatnya matrelinial bagi pembacanya. Selain itu, ia juga menggambarkan kebiasaan masyarakat Minangkabau yang suka merantau.
Kecintaan dan kepiawaiannya terhadap literasi harus kita jadikan inspirasi bagi generasi muda. Membaca dengan bernalar kritis merupakan nilai masyarakat Minang sebagaimana pepatah alam takambang manjadi guru.
The Lifelong Learner
Buya Hamka merupakan sosok pembelajar sejati. Ia cinta ilmu. Namun demikian, diketahui bahwa Buya Hamka tidak banyak mengenyam pendidikan formal. Ia lebih terkenal sebagai orang yang belajar mandiri serta melalui pengalamannya sendiri (otodidak). Ia merupakan orang yang haus akan ilmu sepanjang hayatnya, ia terus berkembang di manapun berada. Ilmu yang ia peroleh tidak terbatas pada institusi formal.
Semangat dan perjuangannya tidak pernah padam untuk belajar. Sebagai sastrawan, seorang intelektual, dan ulama besar ia memiliki pengaruh yang besar dalam bidang agama dan sastra. Ia dikenal sebagai tokoh yang idealis, berintegritas tinggi, dan cekatan. Ia juga didapuk sebagai pendiri dan ketua pertama Majelis Ulama Indonesia.
Buya Hamka memiliki pergaulan yang luas dan lintas ideologi. Berkat ini pulalah ia banyak belajar mengenai hal. Tentu ini dapat kita jadikan teladan serta inspirasi. Bahwa belajar itu hendaknya sepanjang hayat. Dengan landasan yang kuat Buya Hamka mampu belajar secara otodidak, bahkan melahirkan karya-karya yang besar.
Sosok yang Pemaaf, Husnuzon, dan Pemberani
Banyak kisah yang menceritakan bagaimana sabarnya sosok Buya Hamka. Betapa pemaafnya beliau dan betapa pemberaninya ia. Tentu ini tidak muncul begitu saja. Ia selalu menjadi sosok yang memiliki jiwa yang selalu mengutamakan prasangka baik (husnuzon) atas segala hal.
Seperti kisah yang sudah kita sering baca ini. Ketika Buya Hamka menjadi tahanan politik saat akhir masa pemerintahan Orde Lama. Ia dituduh tanpa bukti dan pembelaan terlibat dalam rencana kudeta terhadap Soekarno. Setelah beliau bebas dari tahanan politik, ia justru menunjukkan jiwa yang mulia. Ia tidak menjelek-jelekkan Soekarno, akan tetapi justru ia memberi pernyataan bahwa dengan jadi tahanan ia berhasil menyelesaikan Tafsir al Azhar sebagaimana dikutip oleh Zhalifunnas dan Bakar (2023).
Berkenaan dengan hal ini, masih ada cerita menarik yang menunjukkan bahwa Buya Hamka merupakan sosok yang selalu husnuzon. Seperti yang kita ketahui Buya Hamka pernah mendapat tuduhan plagiarisme atas beberapa karyanya dari kelompok Lekra yang terafiliasi pada politik sayap kiri. Rahman (2017) menyatakan bahwa Abdullah Said Patmadji menuding novel "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" merupakan plagiat atas karya sastra Mesir berjudul Al-Majdulin (Magdalena). Ia merupakan penulis harian Bintang Timur yang dipimpin oleh Pramoedya Ananta Toer. Bahkan Pram menuding Buya Hamka harus minta maaf atas skandal itu.
Namun, Buya Hamka tetap pada prinsipnya untuk selalu mengambil hikmah atas segala kejadian itu. Ia menyatakan bahwa dengan adanya tudingan itu karyanya semakin banyak dibaca. Itulah Buya Hamka yang harus kita teladani. Sifatnya yang selalu husnuzon harus kita tiru dan jadikan sebagai inspirasi dalam kehidupan ini.
Selain itu, ia juga merupakan sosok yang pemaaf. Ada satu kisah yang menurut penulis sangat layak dijadikan pelajaran bagi kita. Berhubungan dengan kedua kisah di atas. Soekarno meminta supaya buya mengimami salat jenazahnya. Dan Pram meminta supaya buya menjadi orang yang mengajarkan tentang Islam (tauhid) kepada anak dan calon menantunya yang beragama non-Islam. Namun, Buya Hamka dengan ikhlas dan jiwa besar menyanggupi permintaan-permintaan itu mengesampingkan konflik-konflik yang telah berlalu.
Itulah beberapa pelajaran yang harus kita teladani dari Buya Hamka. Kisah-kisah ini hendaknya kita jadikan inspirasi untuk hidup yang lebih baik dan bermakna.[]
Disclaimer:
Artikel ini ditulis berdasarkan refleksi saya atas presentasi dari Ketua Harian LKAAM Sumbar, Dr. Amril Amri pada sosialisai Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka di Sungai Batang. (Riskami Wal Ikrami, Penulis)
0 Komentar