Kacau-Kacau Kopi, Apakah Perlu Susu?

Oleh: Denni Meilizon, S.APPenulis, Pegiat literasi, Konten Kreator, Wakil Ketua PD Muhammadiyah Pasaman Barat


SEGELAS kopi hitam di meja sering tampak kacau: buih tipis di permukaan, gula yang tak larut sempurna, kadang ditambah susu yang membuat warnanya keruh. Tapi justru di sanalah nikmatnya—pahit dan manis, pekat dan cair, bercampur tanpa pola. Dunia kita hari ini, kata Zygmunt Bauman, tidak jauh berbeda: liquid modernity—modernitas cair. Cair, karena segala yang dulu kokoh kini meluruh; identitas, institusi, bahkan kebenaran tak lagi solid. Kita hidup di zaman yang sulit memberi kepastian, sebab perubahan bergerak lebih cepat daripada kemampuan kita untuk menaatinya. Nilai moral yang dianggap permanen bisa runtuh sekejap oleh peristiwa viral. Struktur sosial yang dulu jelas garisnya kini kabur, diganti hubungan yang serba sementara, fleksibel, rapuh.

Michel Foucault, dari jalur pemikiran berbeda, menambahkan lapisan penting: kuasa tidak lagi dipahami sebagai sesuatu yang bersemayam di menara tunggal—negara, lembaga, atau tokoh. Kuasa kini tersebar, hadir di mana-mana, meresap dalam relasi sehari-hari. Ia bukan lagi bangunan beton yang menjulang, melainkan jaringan rumit yang menyelusup hingga ke ruang paling privat.

Dua pemikiran ini, jika disatukan, melukiskan dunia kita hari ini. Kita berada dalam lanskap cair, tempat kuasa dan pengaruh tidak lagi dimonopoli, melainkan terdistribusi dalam jejaring yang sulit dikendalikan. Di sanalah Generasi Z tampil sebagai aktor sosial-politik baru, membawa bahasa, gaya, dan cara kerja yang sama sekali berbeda.

Lebih dari seabad lalu, Gustave Le Bon dalam The Crowd (1895) menulis: ketika manusia berkumpul, mereka kehilangan individualitas dan akal sehat. Massa, katanya, cenderung emosional, mudah dipengaruhi, dan bergerak irasional. Kerumunan, bagi Le Bon, adalah potensi kekacauan.

Namun, gambaran klasik itu kini terasa usang. Kerumunan hari ini tidak hanya berdiri berdesakan di jalan, melainkan juga hadir sebagai massa digital. Mereka tidak sekadar berorasi di lapangan, melainkan muncul dalam bentuk trending topic, hashtag, atau gelombang meme yang menjalar ke jutaan layar ponsel.

Kerumunan digital ini memperlihatkan paradoks: cair, tanpa struktur formal, namun bisa solid di sekitar isu atau simbol yang dianggap otentik. Le Bon melihat massa sebagai irasional, tapi massa digital justru menunjukkan kecerdasan kolektif. Dari ruang maya lahir koordinasi protes, solidaritas lintas kota, hingga narasi politik yang berani menantang dominasi negara maupun media arus utama.

Di sinilah teori Mahbub ul Haq tentang “dunia yang meluruh” menemukan relevansinya. Lihatlah dunia kita sekarang, ketika kepastian lama runtuh, sementara kepastian baru belum terbentuk. Politik tak lagi digerakkan oleh satu pusat kekuasaan, melainkan oleh jutaan interaksi mikro. Kerumunan digital menjadi motor perubahan sekaligus sumber ketidakpastian.

Generasi Z, lahir di tengah badai digital dan krisis global, terbiasa hidup dalam ketidakpastian itu. Mereka menyerap informasi dalam kecepatan tinggi, berpindah dari satu isu ke isu lain, tapi dengan insting kuat mendeteksi ketidakadilan. Energi inilah yang membuat mereka tampil berbeda: lebih spontan, lebih luwes, lebih berani menantang struktur usang.

Simbol yang dulu hanya ada dalam imajinasi—seperti bendera bajak laut One Piece—tiba-tiba menjelma jadi bendera perjuangan nyata. Politik kini hadir dalam bentuk meme, video pendek, parodi, humor. Jangan salah: di balik kelucuannya, ada kritik tajam dan rasa frustrasi mendalam. Meme viral bisa lebih mengguncang legitimasi kekuasaan daripada artikel akademik setebal ratusan halaman.

Tahun 2025 memberi contoh nyata.

Di Nepal, larangan penggunaan media sosial justru memicu gelombang perlawanan. Generasi muda berkoordinasi lewat forum Discord, WhatsApp, hingga jaringan internasional. Ribuan turun ke jalan, slogan baru lahir, hingga akhirnya larangan ditarik dan perdana menteri mengundurkan diri. Kuasa yang tersebar mengguncang otoritas negara.

Di Kenya, Gen Z memimpin protes menentang Finance Bill yang dianggap menindas rakyat. Demonstrasi bukan hanya soal pajak, melainkan perlawanan terhadap korupsi dan gaya hidup elite. Meski aparat menekan dengan kekerasan, protes ini membuktikan suara generasi muda tak bisa dipandang remeh.

Di Indonesia, gejala serupa juga terasa. Saat Pemilu 2024, “politik meme” menjadi arena paling panas. Sindiran dan parodi di TikTok sering lebih memengaruhi persepsi publik dibanding kampanye resmi. Dari meme soal sandal jepit, plesetan iklan produk, hingga remix video debat kandidat, semua menciptakan bahasa politik yang lebih akrab dengan anak muda.

Gelombang protes mahasiswa pun sering dihiasi poster dengan kutipan anime, meme internet, hingga plesetan lucu. Itu bukan sekadar hiasan, melainkan strategi komunikasi: cara menyampaikan kritik serius dengan bahasa ringan, kreatif, dan mudah menyebar kembali di ruang digital. Apa yang viral di medsos bisa menjelma jadi kerumunan nyata, lalu kembali diproduksi sebagai meme untuk memperkuat resonansi. 
Politik Indonesia, dengan segala keruwetannya, kini juga digerakkan oleh logika cair ala Gen Z.

Fenomena lain yang tak kalah mengejutkan adalah keterlibatan Artificial Intelligence dalam pemerintahan. Beberapa tahun terakhir, dunia menyaksikan eksperimen unik: sebuah kota di Rumania menunjuk AI bernama “Ion” sebagai penasihat kebijakan publik, dan di Islandia pernah diujicobakan algoritma untuk menyusun rancangan undang-undang. Pada 2025, beredar kabar sebuah negara kecil di Eropa tengah menguji coba AI Prime Minister—perdana menteri berbasis algoritma—yang diklaim mampu mengambil keputusan secara rasional tanpa terikat kepentingan partai maupun oligarki.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan baru: apakah kita sedang memasuki era politik pascamanusia? Jika massa digital telah membuktikan diri sebagai aktor politik baru, maka kehadiran AI di lingkaran pemerintahan adalah paradoks lain dari modernitas cair. Kuasa bukan hanya tersebar di antara manusia, tapi kini juga dibagi dengan mesin.

Bagi Gen Z yang tumbuh bersama teknologi, gagasan ini mungkin terasa wajar. Namun bagi generasi lama, ide seorang perdana menteri AI terdengar seperti kekacauan baru: siapa yang sesungguhnya berkuasa, manusia atau algoritma?

Tentu, peluruhan ini menyimpan risiko. Aksi cair bisa cepat membesar, tapi juga mudah pecah. Tanpa strategi jangka panjang, energi bisa berhenti pada euforia sesaat. Ruang digital pun rawan disinformasi, polarisasi, bahkan manipulasi. Kuasa yang tersebar memang membebaskan, tapi juga membuat batas antara solidaritas otentik dan propaganda semakin tipis.

Bahaya lain datang dari represi. 

Pemerintah yang merasa kehilangan kendali bisa merespons dengan regulasi ketat atau kekerasan. Di Kenya, korban berjatuhan. Di Nepal, pelarangan media sosial justru menyalakan api protes. Di Indonesia, kita sering melihat wacana pembatasan internet muncul tiap kali gejolak politik memuncak. Dan di masa depan, siapa tahu justru AI Prime Minister yang menentukan apa yang boleh atau tidak boleh kita akses.

Namun, di balik risiko itu tersimpan harapan besar. Energi Gen Z adalah modal transformasi sosial-politik. Mereka membawa semangat keterbukaan, solidaritas lintas batas, dan sensitivitas pada isu global: iklim, kesetaraan gender, hingga keadilan ekonomi.

Kuncinya ada pada pendidikan politik dan literasi digital. Bukan hanya teknis, tapi juga etis—bagaimana menggunakan kekuatan digital untuk membangun, bukan sekadar menghancurkan. Di samping itu, dibutuhkan institusi baru yang lebih adaptif, kolaboratif, terbuka. Dunia lama—partai, parlemen, media—sering kehilangan kredibilitas. Generasi muda butuh ruang partisipasi yang lebih otentik, tanpa harus masuk ke struktur lama yang penuh kompromi.

Generasi Z bukan sekadar korban dunia yang meluruh, tetapi bagian penting dari proses kreatif menuju bentuk baru—meski wujud pastinya masih samar.

Contoh dari Nepal, Kenya, Indonesia, hingga eksperimen AI di Eropa menunjukkan bahwa kerumunan digital, bahkan algoritma, bisa mengguncang menara kekuasaan yang tampak tak tergoyahkan. Tantangan ke depan adalah bagaimana energi itu tak berhenti pada protes semata, melainkan bertransformasi menjadi perubahan berkelanjutan.

Jika Bauman melihat dunia sebagai cair, dan Foucault menekankan kuasa yang tersebar, maka Gen Z adalah bukti hidup dari dua pemikiran itu. Mereka massa jaringan yang tak bisa dikekang satu pusat, tapi juga harus belajar mengelola dirinya agar tidak hanyut.

Mungkin inilah titik balik: dari dunia yang meluruh menuju dunia yang lebih partisipatif, lebih adil, lebih terbuka. Pertanyaannya, apakah Gen Z mampu menjadikan energi kekacauan ini sebagai fondasi peradaban baru—atau sekadar gelombang yang lewat tanpa arah?

Segelas kopi yang kacau tak selalu perlu susu. Kadang, ia cukup diminum apa adanya: pahit, getir, tapi justru membangunkan kita.[]

--RBP, September 25
*

*Ilustrasi dibuat aplikasi akal imitasi.

Posting Komentar

0 Komentar