Oleh: Denni Meilizon
PAGI ITU di sebuah SMA negeri di pinggiran kota J, seorang guru sejarah menulis di papan tulis: “20 Mei – Hari Kebangkitan Nasional.” Seisi kelas terdiam. Tak ada yang bersuara, tak ada yang tampak antusias. Beberapa siswa melongo, beberapa terpekur, sisanya hanya menatap kosong ke depan. Ketika sang guru bertanya, “Siapa yang tahu makna Kebangkitan Nasional?”, hanya satu tangan yang terangkat—itu pun dengan ragu.
Beginilah barangkali potret kecil dari memori kolektif kita yang mulai tersamar. Di tengah hiruk-pikuk zaman digital, ledakan konten dan budaya instan, nilai-nilai sejarah dan nasionalisme perlahan memudar dalam keramaian yang tak terpermanai.
Masih adakah bara menyala dalam sakralnya tanggal 20 Mei? Ataukah ia tinggal serpih-serpih romantisme yang kian jauh dari realitas generasi hari ini?
20 Mei 1908 dikenang sebagai hari kelahiran Budi Utomo. Sejumlah pelajar STOVIA merintis kesadaran bersama untuk bangkit dari ketertinggalan dan penjajahan. Ia bukan sekadar organisasi, melainkan lonceng awal yang membangunkan semangat kebangsaan dari tidur panjangnya. Kebangkitan kala itu lahir dari ruang belajar, dari kegelisahan kaum muda yang membaca masa depan.
Tak lama berselang, pada 1912, lahirlah sebuah gerakan yang melampaui zamannya: Persyarikatan Muhammadiyah. Digagas oleh KH. Ahmad Dahlan di Yogyakarta, ia menyalakan obor kebangkitan yang lebih konkret—melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pembaruan pemikiran keislaman. Muhammadiyah bukan sekadar simbol spiritualitas, melainkan cetak biru kemajuan: membebaskan umat dari kebodohan, fatalisme, dan kejumudan berpikir.
Dalam pedoman hidup warga persyarikatan Muhammadiyah, kita melihat manifestasi dari tauhid sosial: keimanan yang menjelma menjadi amal, bukan sekadar ritus. Ijtihad dan amal shalih berpadu dalam kerja-kerja membebaskan. Seperti sabda Nabi, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” Inilah teologi praksis yang hidup dalam keseharian, yang membuktikan bahwa spiritualitas dan kemajuan bukan dua kutub yang berlawanan, melainkan dua kaki dari jalan panjang peradaban.
Kini kita tak lagi menghadapi kolonialisme Eropa, tapi bentuk penjajahan yang lebih halus dan licik: hegemoni digital, algoritma kapitalistik, dan budaya konsumerisme. Generasi muda hidup dalam pusaran informasi yang deras, namun kerap tanpa orientasi. Identitas menjadi cair, seperti kata Zygmunt Bauman, dan komunitas terpecah dalam gelembung-gelembung algoritmik yang tak saling bersua muka.
Sementara itu, luka-luka lama belum juga pulih: ketimpangan pendidikan di daerah 3T, rendahnya literasi kritis bukan saja senjangnya minat baca tetapi kurangnya daya baca, dangkalnya pemahaman sejarah, dan lemahnya daya tahan terhadap polarisasi politik yang menjadi budaya saban lima tahunan. Kita menyaksikan, terutama pada tahun politik 2024 lalu, betapa rapuhnya kohesi sosial saat hoaks dan ujaran kebencian menjadi komoditas harian. Seolah bangsa ini terikat oleh jaringan kabel, tapi tercerai dalam rasa.
Namun di tengah zaman yang gaduh, masih ada bara-bara kecil yang menyala.
Di Pasaman Barat, Forum Pegiat Literasi (FPL) merintis gerakan literasi yang menyentuh akar rumput. Mereka menargetkan terbentuknya 900 kantong literasi pada tahun 2030—mulai dari taman bacaan masyarakat, perpustakaan nagari, perpustakaan masjid, hingga kafe baca. Saat ini, 49 kantong literasi telah aktif, menjadi simpul peradaban yang memantik daya pikir dan daya hidup masyarakat.
FPL Pasaman Barat juga menginisiasi Bincang Literasi, forum diskusi bulanan yang dilaksanakan secara daring dan luring, tempat bertemunya gagasan dan strategi para penggerak. Mereka pun mempersiapkan program Kemah Literasi sebagai wadah penguatan jejaring antar komunitas. Tak hanya itu, FPL rutin mengadakan lomba baca puisi dan bercerita bagi pelajar, menjangkau ratusan anak dari berbagai kecamatan. Dari kata dan cerita, mereka menabur harapan untuk masa depan Pasaman Barat yang literat.
Sementara di tingkat provinsi, Forum Taman Bacaan Masyarakat (Forum TBM) Sumatera Barat memperkuat jejaring literasi dengan pendekatan kolaboratif. Awal 2025, mereka menggulirkan diskusi daring “Sapo Kawan”, forum saling belajar antar TBM se-Sumatera Barat yang menghadirkan narasumber inspiratif seperti Teh Yeni (TBM Widya Darma, Solok Selatan), Bu Fera (TBM Bunda, Pasaman Barat) dan Kak Novela (TBM Rimba, Dharmasraya).
Forum TBM Sumbar juga menjalin sinergi dengan Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat lewat penandatanganan Rencana Kerja Bersama 2025, untuk memperkuat gerakan literasi, kebahasaan, dan kesastraan. Mereka menggelar rapat koordinasi dengan sembilan pengurus daerah, serta aktif melakukan kunjungan ke berbagai TBM seperti di Kota Pariaman, Pasaman, Sawahlunto, Bukittinggi, Padang, Pesisir Selatan, dan lainnya, membangun kehadiran yang nyata, bukan sekadar wacana.
Gerakan-gerakan ini tak mencari panggung. Ia lahir dari kegelisahan, tumbuh dalam sunyi, namun memberi terang di tengah gelapnya apatisme sosial. Inilah wajah kebangkitan kontemporer—diam-diam, namun terus mengakar. Seperti api kecil yang tahu caranya bertahan dalam angin besar.
Dan di balik banyak kisah ini, berdirilah jaringan sosial seperti Muhammadiyah, yang dengan tenang dan tekun merawat semangat zaman. Melalui ribuan sekolah, rumah sakit, dan perguruan tinggi, Muhammadiyah hadir sebagai penjaga denyut kebangkitan dalam wajah modern. Ia membuktikan bahwa kebangkitan bukan slogan, melainkan sistem sosial yang hidup dan bekerja.
Kita perlu memperluas definisi kebangkitan. Bukan lagi hanya bangkit dari penjajahan kolonial, tapi dari sikap menyerah terhadap keadaan. Dari kebiasaan membenci tanpa berpikir. Dari keterasingan terhadap budaya sendiri.
Di era kecerdasan buatan dan otomasi, kebangkitan berarti menjaga agar manusia tetap menjadi pusat dari kemanusiaan. Seperti dikatakan Paulo Freire, pendidikan yang sejati bukan menjejalkan isi kepala, tapi membangkitkan kesadaran. Di tengah riuh ekstremisme dan kebencian, kebangkitan berarti membangun kembali rasa kebersamaan, menyulam keadaban, menanam rasionalitas.
Kita butuh pendidikan yang membebaskan, bukan sekadar mengejar akreditasi. Budaya yang mengakar, bukan yang sekadar viral. Kita butuh kebangkitan yang tumbuh dari kenyataan, namun tetap berpijar pada cita-cita. Dalam bahasa Kuntowijoyo: kita harus memformulasikan ilmu dan iman sebagai kekuatan transformatif.
Seperti Muhammadiyah yang tak gembar-gembor, namun terus bekerja—diam-diam membangun peradaban. Seperti pesan KH. Ahmad Dahlan yang tak lekang oleh waktu: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”, maka kini saatnya kita hidup-hidupkan kembali Indonesia. Menyalakan semangat yang hampir padam, dengan lentera baru dan arah yang lebih jernih. Kebangkitan bukanlah seremoni, tapi keputusan harian untuk tetap berharap, tetap bergerak, dan tetap memanusiakan manusia.
Dalam surah Ar-Ra’d ayat 11: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Maka kebangkitan adalah keberanian untuk terus mengubah, bukan dengan teriakan, tapi dengan ketekunan. Sebab harapan, seperti kata Kierkegaard, adalah bentuk iman yang paling radikal.
Mari bangkit. Sekali lagi. Dengan semangat baru dan jiwa yang tetap teguh: mencerdaskan, memajukan, memakmurkan dan memuliakan kehidupan.[]
Tentang Penulis:
Denni Meilizon , tinggal dan bekerja di Pasaman Barat. Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kabupaten Pasaman Barat. Penulis dan penyair yang aktif dalam gerakan literasi dan kebudayaan.
---------
Syarikatmu.com media online. Menerima tulisan berbentuk Esai, Cerita Pendek, Cerita Bersambung dan Puisi (minimal 5 Puisi). Sertakan biodata singkat dan naratif tentang Penulis. Untuk tulisan esai agar menyertakan foto diri.
Kirim ke surel: syarikatmu3@gmail.com dalam bentuk file dan bukan ditulis pada badan surel. Atau ke nomor WA 081378605943. Setiap naskah yang dimuat diberikan bonus berupa buku bacaan.
Sertakan nomor WA untuk konfirmasi redaksi.
Mohon maaf sebelumnya untuk kiriman naskah belum kami sediakan honorarium.
0 Komentar