Oleh Denni Meilizon
Data terbaru dari PISA 2022 menyampaikan kabar yang seharusnya mengguncang nurani kita. Skor membaca Indonesia anjlok ke angka 359, turun dari 371 pada 2018, sekaligus menjadi skor terendah sejak tahun 2000. Artinya, dua dekade pembangunan pendidikan kita belum mampu mengangkat kemampuan membaca anak-anak bangsa pada level yang membanggakan.
Kita sering berbicara tentang Indonesia Emas 2045, tentang bonus demografi, tentang potensi generasi muda yang akan mendominasi usia produktif. Tetapi bagaimana kita bisa berharap pada bonus itu jika pondasi literasi generasi masih keropos? Bonus demografi tanpa literasi justru bisa berubah menjadi bencana sosial.
Literasi bukan sekadar bisa membaca huruf. Literasi adalah kemampuan memahami makna, menafsirkan pesan, memilah informasi, sekaligus menghubungkannya dengan kehidupan nyata. Literasi adalah kunci berpikir kritis. Bangsa yang rendah literasinya akan menjadi bangsa yang mudah dibohongi, mudah dimanipulasi, dan mudah dipecah belah.
Hari ini kita bisa menyaksikan betapa derasnya arus hoaks di media sosial. Berita palsu menyebar jauh lebih cepat daripada berita benar. Itu bukan hanya persoalan teknologi digital, melainkan persoalan literasi kritis. Masyarakat yang terbiasa membaca dan terbiasa berpikir tidak akan gampang terjebak oleh tipuan semacam itu.
Maka, ketika skor PISA turun, kita sebenarnya tidak hanya sedang berbicara tentang rendahnya kualitas pendidikan formal. Kita sedang berbicara tentang lemahnya daya tahan bangsa terhadap manipulasi, lemahnya kemampuan ekonomi kreatif, lemahnya ikhtiar menuju kedaulatan informasi.
UNESCO pernah menyebutkan, hanya satu dari 1.000 orang Indonesia yang rajin membaca buku. Angka ini terdengar getir. Bukankah kita adalah bangsa dengan tradisi lisan yang kuat, dengan cerita rakyat dan petuah bijak yang diwariskan turun-temurun? Tetapi sayangnya, tradisi itu tidak otomatis menjelma menjadi tradisi membaca di era modern.
Lebih ironis lagi, di banyak rumah pejabat, koleksi buku bisa dihitung dengan jari. Di ruang-ruang publik, pojok baca sering dijadikan hiasan belaka, bukan ruang hidup. TBM (Taman Bacaan Masyarakat) tersebar lebih dari 5.000 di seluruh negeri, tetapi sebagian besar berjuang dengan minim dukungan, minim dana, bahkan sekadar untuk membeli rak buku sederhana.
Padahal, data menunjukkan potensi TBM luar biasa. Lebih dari 64 persen pengelola TBM berpendidikan sarjana. Mereka adalah agen literasi yang rela bekerja sukarela. Jika mereka diberdayakan, TBM bisa menjadi posko darurat literasi di seluruh pelosok nusantara.
Darurat literasi harus diperlakukan seperti darurat kesehatan. Ketika pandemi datang, kita mendirikan posko, mobilisasi relawan, mendistribusikan obat, dan membuat regulasi cepat. Literasi juga demikian: harus ada Satgas Literasi, ada distribusi buku darurat, ada pelatihan cepat untuk guru dan relawan, ada kampanye publik yang masif.
Sistem kerja darurat literasi bisa dimulai dari pemetaan wilayah. Mana daerah dengan akses buku minim? Mana sekolah dengan skor literasi rendah? Mana keluarga yang tak memiliki bahan bacaan di rumah? Pemetaan ini akan memandu distribusi buku dan program literasi agar tepat sasaran.
Gerak cepat sangat diperlukan. Bayangkan jika dalam seratus hari ke depan setiap sekolah dasar memiliki pojok baca aktif, setiap TBM mendapat tambahan buku dan kegiatan, setiap guru mendapat pelatihan literasi digital, dan setiap keluarga didorong menyediakan bacaan di rumah. Dampaknya akan jauh lebih nyata dibanding sekadar kampanye seremonial.
Sasaran utama harus jelas. Dalam jangka pendek, fokus pada anak SD, guru, dan keluarga. Dalam jangka menengah, remaja dan pemuda. Dalam jangka panjang, membangun budaya baca sebagai identitas masyarakat. Jika kita ingin Indonesia Emas, kita tidak boleh hanya mengandalkan jargon, tetapi harus menanam budaya baca sejak dini.
Motivasi literasi harus digelorakan sebagai motivasi peradaban. Literasi bukan hanya soal ujian sekolah, bukan hanya soal nilai rapor. Literasi adalah daya hidup. Literasi menentukan apakah kita bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain atau hanya menjadi pasar bagi produk asing.
Mari kita lihat contoh sederhana. Surabaya, pada tahun 2023, mencatat lebih dari 800 ribu kunjungan ke perpustakaan umum dan TBM. Angka ini menunjukkan: kalau fasilitas ada, kalau akses disediakan, masyarakat akan datang. Artinya, persoalan utama literasi bukan minat yang rendah, melainkan akses yang terbatas.
Di sinilah peran pemerintah daerah sangat penting. APBD tidak boleh hanya dihabiskan untuk infrastruktur fisik. Jalan tol dan gedung megah memang penting, tetapi lebih penting lagi adalah jalan pikiran dan bangunan peradaban. Literasi harus mendapat porsi anggaran yang jelas dan terukur.
Namun, pemerintah saja tidak cukup. Literasi adalah gerakan kolektif. Keluarga harus menjadi ruang baca pertama. Guru harus menjadi teladan pembaca. Media harus menjadi corong literasi, bukan sekadar pabrik gosip selebriti. Influencer harus ikut menyebarkan semangat literasi, bukan hanya iklan produk konsumerisme.
Literasi juga harus disesuaikan dengan konteks zaman. Anak-anak sekarang hidup di era digital. Maka literasi digital sama pentingnya dengan literasi baca-tulis. Kita perlu mengajarkan cara memverifikasi informasi, mengenali jejak digital, serta melawan hoaks. Membaca di era sekarang tidak hanya dari buku cetak, tapi juga dari layar.
Pendekatan kultural juga penting. Literasi tidak bisa hanya mengandalkan buku impor atau bacaan akademis kaku. Cerita rakyat, sastra lokal, dan kearifan nagari harus dihidupkan kembali. Anak-anak akan lebih tertarik membaca jika mereka menemukan identitas diri dan lingkungannya dalam bacaan.
Literasi adalah tentang kebebasan. Seorang yang membaca adalah seorang yang merdeka. Ia tidak mudah diperbudak oleh propaganda, tidak gampang diperalat oleh kepentingan politik, dan tidak gampang diperdaya oleh iklan yang menipu.
Kita harus jujur mengakui: tanpa gerakan literasi yang massif, target Indonesia Emas 2045 hanya akan tinggal slogan. Generasi muda akan besar secara jumlah, tetapi kecil secara kualitas. Mereka mungkin pandai berselancar di media sosial, tetapi gagap ketika harus membaca teks panjang, apalagi berpikir kritis terhadap isu-isu kebangsaan.
Oleh karena itu, mari nyatakan dengan tegas: Indonesia sedang berada dalam Darurat Literasi. Kita membutuhkan komitmen bersama. Pemerintah pusat, daerah, sekolah, keluarga, komunitas, media, dan dunia usaha harus bergerak dalam satu orkestrasi besar.
Setiap orang bisa mulai dari hal kecil: membeli buku dan membacanya bersama anak, menyumbang buku ke TBM, membuat pojok baca di rumah, atau sekadar mengurangi waktu menonton televisi, scroll tontonan berdurasi pendek, untuk memberi ruang pada bacaan.
Gerakan literasi tidak boleh ditunda. Setiap hari yang kita abaikan adalah satu langkah mundur peradaban. Dan setiap buku yang tidak dibaca adalah satu peluang hilang untuk memahami dunia.
Jika kita gagal mengangkat literasi, kita akan terus terjebak dalam lingkaran: generasi lemah literasi melahirkan kebijakan lemah literasi, lalu melahirkan masyarakat yang terus menerus rentan. Tetapi jika kita berani bergerak sekarang, kita bisa membalik keadaan.
Darurat literasi harus menjadi panggilan moral, bukan hanya agenda teknokratis. Karena pada akhirnya, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang sekadar banyak jumlah penduduknya, melainkan bangsa yang mampu membaca sejarahnya, memahami dirinya, dan menulis masa depannya dengan tinta pengetahuan.[]
Denni Meilizon,
Ketua Forum TBM Pasaman Barat
Ketua Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat
Ketua Forum Penggerak Literasi Sumatera Barat
*Gambar dibuat oleh kecerdasan buatan.
0 Komentar