Pemuda Muhammadiyah di Usia 93 Tahun: Memapankan Trilogi Kader
Oleh : Denni Meilizon
SEMBILAN PULUH TIGA tahun bukanlah angka sembarangan. Ia adalah rentang waktu yang cukup panjang untuk menyusun sejarah, melukis cita-cita, dan mengeja makna keberadaan. Pemuda Muhammadiyah, di usianya yang nyaris seabad, telah mengemban amanah besar dalam tiga wajah: sebagai Kader Persyarikatan, Kader Umat, dan Kader Bangsa. Trilogi ini bukan sekadar slogan, melainkan jalan sunyi—penuh onak dan ujian.
Kita mengenang kelahiran organisasi ini bukan untuk memuja masa lalu, tetapi agar bisa bertanya dengan lebih jujur: sudahkah trilogi itu benar-benar menjelma dalam diri kita? Atau jangan-jangan, kita terlalu sibuk membangun panggung megah hingga lupa siapa yang duduk di bangku-bangku paling belakang—menanti aksi, bukan atraksi.
Hari ini, pujian datang dari segala penjuru. Lihatlah! Pemuda Muhammadiyah sudah mulai fasih berbicara tentang geopolitik dan ekonomi syariah. Telah duduk di kursi parlemen, mengisi forum-forum kebangsaan. Luar biasa... bukan? Tapi tunggu—di kampung-kampung, di tingkat Wilayah, Daerah, Cabang, dan Ranting, kaderisasi masih setengah hati. Di akar rumput, yang tersisa kadang hanya spanduk dan swafoto di akhir acara. Begitu mudah kita terjebak dalam ilusi pencapaian, lalu melupakan detak nadi gerakan yang sesungguhnya: ketulusan, militansi, dan keberanian menyingsingkan lengan baju di tengah debu.
Kita bicara ekonomi umat, tapi tak pernah menyentuh pasar. Kita berdiskusi tentang inklusi, namun hanya duduk dalam lingkaran yang sama—lingkaran yang nyaman, aman, dan sayangnya... makin menyempit. Kita menyebut diri “Kader Bangsa,” tapi saat bangsa terbakar oleh ketimpangan, kita sibuk memanaskan ruang Zoom. Kita berdoa untuk perubahan, tapi enggan melangkah keluar dari zona suci kita sendiri.
Sebagai Kader Persyarikatan, Pemuda Muhammadiyah dididik untuk menjadi pelanjut cita-cita KH Ahmad Dahlan. Namun kadang, idealisme itu tertahan di meja rapat. Di balik rapi dan indahnya pelaporan kegiatan, tersembunyi kegelisahan: kaderisasi yang menua, diskusi yang berulang, dan struktur yang terlampau mencintai formalitas. Seolah kita lebih sibuk mempertahankan bendera ketimbang bertanya untuk apa bendera itu dikibarkan.
Sebagai Kader Umat, Pemuda Muhammadiyah seharusnya hadir di tengah masyarakat, menolong yang lemah, membela yang terpinggirkan. Namun seringkali kita justru larut dalam selebrasi gerakan. Sibuk membuat konten, namun abai pada konteks. Bangga menyebut diri “pelayan umat,” tapi enggan menyentuh lumpur persoalan. Kita lebih fasih berkata daripada mendengar.
Dan sebagai Kader Bangsa, Pemuda Muhammadiyah dipanggil menjadi kekuatan moral yang memperbaiki arah perjalanan negeri. Tapi di sini pun, kita kerap ragu. Takut melawan arus, takut dicap tidak netral, lalu memilih diam atas ketidakadilan yang terang-benderang. Kita bicara politik kebangsaan, tapi enggan menyentuh realitas kekuasaan. Ingin disebut negarawan, tapi tak punya nyali untuk berbeda.
Namun ini bukan sekadar kritik. Ini adalah cinta yang saya niatkan untuk menggugah. Sebab mencintai Pemuda Muhammadiyah hari ini berarti berani menampar wajah sendiri—agar bangkit dari tidur panjang dan kemapanan semu. Usia 93 seharusnya menjadi tonggak, bukan untuk nyaman, tapi untuk gelisah. Sebab umat tak menunggu narasi, tapi aksi. Bangsa tak butuh basa-basi, tapi bukti.
Sebagaimana pernah diucapkan oleh Nietzsche, "He who has a why to live can bear almost any how." Maka trilogi kader bukan sekadar identitas, melainkan alasan keberadaan—yang harus terus diuji dalam laku, bukan hanya dalam dokumen visi dan misi.
Mari kita akui dengan lapang: trilogi itu belum selesai. Ia masih dalam proses menjadi. Dan proses itu menuntut keberanian untuk merombak kebiasaan, membuka sekat, dan menembus zona nyaman.
Pemuda Muhammadiyah harus kembali ke jalan sunyi para perintis—jalan yang menolak kemapanan, mencintai ilmu, dan menyatu dengan denyut rakyat. Jika tidak, maka organisasi ini hanya akan menjadi museum ide: penuh kenangan, namun sunyi dari gerak dan perubahan.
---
** Wakil Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Pasaman Barat (2018 - 2022), Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Pasaman Barat. Pemerhati isu sosial-keagamaan, politik dan pendidikan. Penulis dan Pegiat Literasi. Saat ini berdomisili di Simpang Empat, Pasaman Barat.
0 Komentar