Memacu Adrenalin Mendengar, Bergerak, Berdampak : Refleksi 100 Hari Yulianto–Ihpan

Oleh: Denni Meilizon 
Penulis & Pegiat Literasi

DAN ketika kepemimpinan berganti, yang diwariskan tidak selalu berupa program berkelanjutan atau pondasi yang mapan. Di Pasaman Barat, warisan itu datang dalam bentuk yang lebih sunyi, tapi menggigit: defisit anggaran Rp71 miliar. Tak ada seremoni yang bisa menutupi kenyataan segetir itu. Dan bagi Bupati Yulianto dan Wakilnya, Ihpan, defisit bukan hanya angka, tapi titik tolak yang menentukan seluruh arah langkah mereka.

Maka tak heran, 100 hari pertama bukanlah panggung gebyar program unggulan, melainkan ruang sunyi tempat efisiensi, rasionalisasi, dan penundaan menjadi kosa kata utama.

Kepemimpinan Pilihan Pahit

Kepemimpinan publik, pada dasarnya, adalah seni membaca kenyataan dan merumuskan pilihan-pilihan pahit menjadi keputusan yang dapat diterima. Dalam hal ini, Yulianto–Ihpan memilih langkah realistis: memangkas Honorer dan THL, menunda infrastruktur non-prioritas, dan menahan belanja rutin. Sebuah pilihan rasional dalam situasi krisis fiskal.

Namun seperti kata filsuf Hannah Arendt, “Setiap keputusan politik adalah keputusan yang harus dijelaskan kepada publik.” Di sinilah tantangan muncul. Efisiensi bukan sesuatu yang bisa difoto dan disebarluaskan seperti peresmian jembatan atau acara gunting pita. Ia adalah kerja sunyi yang sering tak populer, namun perlu. Tapi ketika hasil tak kunjung tampak, publik cenderung kehilangan empati. Apalagi jika tidak ada publikasi target konkret sejak hari pertama.

Data:  Bukan Tujuan Akhir

Salah satu kelebihan utama periode ini adalah penggunaan data sebagai fondasi. Angka stunting (26,6%), kemiskinan ekstrem (0,7%), dan ketimpangan sanitasi disampaikan secara terbuka. Ini patut diapresiasi. Tetapi data hanyalah peta. Ia tidak mengantarkan perubahan tanpa langkah kaki. Misalnya, program stunting dengan proyeksi anggaran Rp3 miliar, meski terdengar menjanjikan, masih dalam tahap perencanaan.

Padahal, dalam konteks politik lokal, rakyat menilai dari yang kasatmata: adakah jalan diperbaiki? Adakah dokter benar-benar hadir di pelosok? Adakah program benar-benar menyentuh kehidupan harian mereka?

Perbandingan yang Tak Terhindarkan

Perbandingan dengan pemerintahan sebelumnya, Hamsuardi–Risnawanto, tak bisa dihindari. Dalam 100 hari pertama mereka, publik disuguhi pelebaran jalan, UHC gratis, hingga program nikah gratis dan tahfidz. Mungkin tak semuanya efisien, tapi terasa. Sementara Yulianto–Ihpan hadir dengan pendekatan teknokratik, berhati-hati, namun cenderung minim realisasi fisik.

Keduanya merepresentasikan dua gaya kepemimpinan yang berbeda: yang satu populis-fungsional, yang lain rasional-struktural. Yang satu memberi kepuasan instan, yang lain menjanjikan ketahanan jangka panjang. Namun seperti hukum politik lokal pada umumnya, yang bertahan adalah yang tampak.

Survei, Apakah Perlu?

Hingga tulisan ini dibuat, belum ada survei resmi terhadap kepuasan masyarakat atas kinerja 100 hari Yulianto–Ihpan. Ini adalah lubang besar dalam manajemen akuntabilitas publik. Rekomendasi agar Pemkab menggandeng lembaga survei independen (Litbang Kompas, Indikator, Populi Center) seharusnya menjadi bagian integral dari tata kelola yang transparan.

Tanpa suara warga, evaluasi hanya akan berputar di ruang rapat dan laporan internal. Sementara di luar sana, rakyat diam-diam menyimpan kekecewaan yang tidak sempat terdengar.

Antara Bertahan atau Lakukan Loncatan

Seratus hari pertama adalah waktu terlalu pendek untuk membuat keajaiban. Tapi cukup panjang untuk menunjukkan arah. Yulianto–Ihpan tampaknya memilih untuk bertahan terlebih dahulu. Mereka memagari keuangan, menguatkan fondasi, dan memetakan persoalan. Itu baik. Tapi kepemimpinan bukan sekadar bertahan. Ia juga soal membayangkan lompatan—dan mulai melangkah ke sana, walau kecil.

Kini tinggal pertanyaan sederhana namun krusial: dari seluruh program, data, dan strategi yang disiapkan—mana yang benar-benar sudah menyentuh kehidupan masyarakat secara nyata?

Politik dalam Kesunyian Angka

Pada akhirnya, setiap kepala daerah akan diukur bukan hanya dari niat dan narasi, tetapi dari hasil yang dapat dirasakan warga. Keheningan 100 hari pertama Yulianto–Ihpan adalah keheningan yang penuh muatan: antara pembenahan dan penantian, antara fondasi dan keraguan.

Namun waktu bergerak terus. Jika langkah-langkah konkret tidak segera hadir, dikhawatirkan kekuatan narasi tak akan cukup menahan gelombang skeptisisme publik. Dalam politik lokal, yang diam bukan berarti tak kecewa. Dan yang belum protes bukan berarti puas.

Yulianto–Ihpan telah memulai dengan berhati-hati. Kini saatnya menunjukkan bahwa kehati-hatian itu bukan bentuk keengganan, tapi landasan dari keberanian untuk melompat lebih jauh.[]

Rumahbuku, 5 Juli 2025

Posting Komentar

0 Komentar