Oleh Denni Meilizon
PERNAHKAH kita merawat sesuatu sepenuh hati—hubungan, harapan, atau impian—hanya untuk menyadari bahwa ia tak pernah benar-benar menjadi milik kita? Kita menggenggamnya dengan seluruh keberanian, namun tiba-tiba ia terlepas begitu saja, seperti daun yang jatuh tanpa arah. Berapa sering kita merasakan kepingan-kepingan hidup kita lenyap, meski kita yakin telah memilikinya. Bahwa hidup menawarkan kenyataan yang jauh lebih pahit: bahkan yang sudah kita pegang erat, belum tentu benar-benar milik kita sepenuhnya.
Kita telah yakin bahwa setiap jerih payah akan berbuah kepemilikan utuh. Kita diajarkan bahwa segala sesuatu yang kita usahakan dengan baik adalah hak kita. Namun, kehidupan ini berjalan tidak dalam garis lurus. Dunia bekerja tidak selalu seperti yang kita inginkan. Ada banyak hal yang, meskipun kita jaga dengan sepenuh hati, tetap memilih untuk pergi. Ia bagaikan arus yang tak terduga, dan seolah-olah kita hanyalah perantara dalam perjalanan tarik menarik berbagai kepentingan.
Ilusi kendali— kita sebut saja demikian, sebuah keyakinan bahwa kita mengendalikan lebih banyak hal namun tidak kita sangka itu ternyata sebentuk jebakan psikologis yang merasuk dalam setiap tindakan kita. Kita merasa memegang kendali atas hubungan yang kita jalin, harta yang kita usahakan, karier yang kita bangun, bahkan masa depan yang kita impikan. Padahal, banyak di antaranya berisiko diguncang oleh kekuatan yang tak kita kuasai: waktu, perubahan, dan takdir.
Suatu kali, seorang petani yang telah merawat pohon buahnya selama bertahun-tahun, dengan segala cinta dan perhatian, terkejut ketika badai menghancurkan sebagian besar tanamannya. Air matanya jatuh, bukan hanya karena kehilangan, tetapi karena merasa bahwa kerja kerasnya telah sia-sia. Namun, sang petani akhirnya menyadari, meskipun ia kehilangan sebagian dari kebun itu, masih ada pohon-pohon lain yang bisa ia rawat, dan tanah yang sama yang bisa ia tanami lagi. Kita belajar dari pengalaman petani itu, kehilangan, meskipun terasa pedih, memberi ruang untuk pertumbuhan dan perhatian yang baru.
Ketika kenyataan tidak sejalan dengan harapan kita, rasa kehilangan datang begitu dalamnya, bentuknya dapat berupa apa pun, kehilangan menyisakan luka: kecewa, frustrasi, bahkan trauma. Lihat pada titik ini, keikhlasan bukan sekadar seikat nasihat spiritual yang terdengar indah, tetapi menjelma sebagai strategi psikologis yang diperlukan untuk bertahan hidup.
Keikhlasan adalah seni menerima tanpa menghakimi, melepaskan tanpa kebencian. Dalam filsafat Zen, ada kisah seorang biksu yang ditanya oleh muridnya, "Bagaimana cara mengatasi ketakutan terhadap kehilangan?" Sang guru menjawab, "Lepaskan semuanya, bahkan dirimu sendiri, dan kamu akan tahu apa yang tak pernah hilang." Keikhlasan, dalam pengertian ini, adalah pembebasan dari keterikatan yang berlebihan, yang seringkali menjebak kita dalam penderitaan. Dengan belajar ikhlas, kita tidak menyangkal kenyataan, namun berdamai dengan apa adanya.
Viktor Frankl, seorang psikolog eksistensial yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi, menulis bahwa makna adalah kunci ketahanan mental. "Hidup mungkin tidak selalu bisa kita kendalikan, tetapi kita selalu dapat memberi makna pada hidup," katanya. Kehilangan, dalam pandangan Frankl, tidak perlu menjadi penderitaan yang abadi—ia bisa menjadi gerbang menuju pemahaman yang lebih dalam tentang diri dan dunia.
Dalam perspektif Islam, Allah berfirman:
"Kami pasti akan mengujimu dengan sedikit ketakutan dan kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar."
(QS. Al-Baqarah: 155)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa kehilangan adalah bagian dari perjalanan hidup. Tidak ada yang abadi dalam dunia ini, dan kesabaran adalah bentuk ketahanan psikologis yang tertinggi. Dalam kesabaran, kita menemukan keikhlasan yang membebaskan, dan melalui keikhlasan, kita belajar untuk tidak terikat pada hal-hal duniawi. Tiga kata serangkai, syukur, sabar, salat. Dan dipungkas dengan: tawakal.
Keikhlasan bukan hanya tentang melepaskan, tetapi tentang menyadari bahwa kita tak memiliki apa pun, meskipun kita merasa memilikinya. Kebahagiaan tidak lahir dari kepemilikan, melainkan dari kemampuan untuk hadir sepenuhnya dalam setiap momen, tanpa syarat dan tanpa pamrih. Seperti sungai yang mengalir bebas, tanpa peduli ke mana airnya pergi, kita belajar untuk melepaskan, menerima, dan menikmati aliran kehidupan itu sendiri.
Kehilangan bukan pula sesuatu yang mudah diterima, namun ia adalah bagian dari hidup yang tak bisa kita hindari. Bagaimana jika, alih-alih berlarut-larut dalam penyesalan, kita mulai belajar untuk menerima dan melepaskan? Apa yang terjadi jika kita mampu menemukan kebahagiaan bukan dari kepemilikan, tetapi dari kemampuan untuk hidup sepenuhnya, tanpa terikat oleh apapun?
Keikhlasan bukan sekadar kata-kata yang indah, tetapi sebuah seni untuk melepaskan—untuk membuka tangan kita dan membiarkan segala sesuatu yang datang dan pergi.
Apakah kita siap untuk melepaskan apa yang kita kira adalah milik kita, dan menerima hidup apa adanya?
Ketika seseorang mampu berkata, "Ini bukan milikku, dan aku tetap baik-baik saja," maka ia tengah menyembuhkan dirinya. Bukan dengan melupakan, tetapi dengan memulihkan. Mungkin, dalam melepaskan, kita justru menemukan versi diri yang paling utuh—lebih bebas, lebih damai, dan lebih siap untuk menyambut segala yang datang.
Sekarang, mari kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri: Apa yang sejatinya kita pegang dalam hidup ini? Apakah kita terlalu terikat pada hal-hal yang, pada akhirnya, hanya sementara? Apakah kita pernah merasa terperangkap dalam ilusi kendali, seolah-olah kita dapat menggenggam waktu, hati seseorang, atau bahkan takdir itu sendiri?[]
---------
Syarikatmu.com media online. Menerima tulisan berbentuk Esai, Cerita Pendek, Cerita Bersambung dan Puisi (minimal 5 Puisi). Sertakan biodata singkat dan naratif tentang Penulis. Untuk tulisan esai agar menyertakan foto diri.
Kirim ke surel: syarikatmu3@gmail.com dalam bentuk file dan bukan ditulis pada badan surel.
Sertakan nomor WA untuk konfirmasi redaksi.
Mohon maaf sebelumnya untuk kiriman naskah belum kami sediakan honorarium.
0 Komentar