Oleh: H. Refri Andesta (Ketua Majelis Ekonomi PDM Pasaman Barat)
Alhamdulillah, hari itu langit belum sepenuhnya cerah ketika kami memulai perjalanan menuju Salareh Aia—wilayah yang kini menyimpan luka besar setelah banjir bandang menerjang.
Bersama amanah dari enam keluarga, kami membawa bantuan senilai lebih kurang Rp2.800.000,- tidak termasuk pakaian, sarung, dan sajadah layak pakai. Semua kami serahkan melalui Posko MDMC, diterima oleh para relawan muda IMM, salah satunya berasal dari Labuhan Batu, Kota Pinang, Sumut—anak-anak kita yang berdiri paling depan di tengah kepungan duka.
Di posko, terpajang daftar korban. 597 jiwa menjadi angka yang terus disebut dengan lirih. Ada yang meninggal, ada yang hilang—semoga Allah menjaga mereka dalam sebaik-baiknya perlindungan. Namun angka itu sesungguhnya tidak pernah mampu mewakili cerita kehilangan yang sesungguhnya.
Bagi yang bertanya berapa banyak keluarga yang tertimpa musibah,
jawabnya: tiga kampung hilang seutuhnya—tak bersisa untuk dikenang selain dalam ingatan.
Bagi yang bertanya setinggi apa banjir bandang itu,
jawabnya: setinggi rumah—menyapu habis apa pun yang menghalangi.
Bagi yang bertanya berapa mobil yang hanyut,
jawabnya: tak lagi diurus—karena nyawa lebih utama untuk diselamatkan.
Bagi yang bertanya kenapa belum ada komunikasi yang jelas,
jawabnya: petugas PLN masih bertarung di pangkal jalan—listrik dan jaringan belum kembali.
Bagi yang bertanya berapa rumah yang rusak,
kami hanya bisa bertanya balik:
Berapa rumah yang masih tersisa?
Bagi yang bertanya di mana warga tidur malam ini,
jawabnya: di tenda-tenda darurat—memeluk dingin dan kecemasan.
Dan bagi yang bertanya bagaimana kami menjawab semuanya,
jawabannya: dengan air mata yang tak tertahan.
Kami hanya mampu sampai di Pasar Koto Alam, Salareh Aia Timur.
Keinginan menembus hingga Desa Sabarang Air kami urungkan setelah para ibu di posko berkata sambil mengatur napas:
“4 kilometer jalan kaki, pak…”
Tubuh seketika lemas—bulir bening mengambang di pelupuk mata. Lutut serasa kehilangan penopang.
Dalam hati, terbit rasa bersalah yang mengambil seluruh lengahku:
Maafkan aku, buk…
Maafkan aku saudara-saudaraku di Muhammadiyah…
Maafkan aku saudara-saudaraku seiman…
Aku datang terlambat…
Aku lalai mengulurkan tangan lebih cepat…
🙏😭
Mungkin dulu, warga Sabarang Air pernah menjadi orang pertama yang mendatangi kami saat gempa Talamau mengguncang kehidupan.
Kini kami baru mampu hadir setelah enam hari bencana menghancurkan dunia mereka.
Dalam perjalanan pulang, ketika pikiran masih berkecamuk antara kecewa dan syukur, terdengar lantunan ayat suci dari sebuah masjid di kanan jalan. Aku menoleh—lalu terpaku:
MASJID TAQWA MUHAMMADIYAH
tulisannya berdiri tegak di atas plakat besar.
Puing-puing masih berserakan di halaman depannya,
namun suara tilawah tetap mengudara, memintal harapan baru bagi siapa saja yang mendengarnya.
Di tengah tanah yang ambruk dan rumah yang lesap, iman masih berdiri.
Suara Allah masih menyapa dari rumah-Nya—meski dindingnya retak dan lantainya masih berbalut lumpur.
Musibah boleh menghempas dunia kita,
tetapi agama tetap menjaga jiwa kita.
Hari ini kami pulang dengan bahu yang masih berat,
namun hati yang telah berjanji:
Duka ini belum selesai,
dan kepedulian kita juga tidak boleh selesai.
Semoga setiap titipan kebaikan menjadi energi yang menguatkan saudara-saudara kita di Salareh Aia.
Semoga para relawan dimudahkan langkah dan ditinggikan derajatnya.
Semoga Allah mengganti air mata menjadi keteguhan,
dan kesedihan menjadi cahaya kehidupan.
Kita akan kembali.
Karena persaudaraan tidak boleh berhenti di hari pertama kedatangan.[]
0 Komentar