Giliran, Sekarang Kamu Mungkin Besok Aku

 

Oleh Denni Meilizon
(Penulis, Dewan Redaksi SYARIKATMU) 

KITA sering lupa bahwa hidup tidak pernah memberi pengumuman sebelum berubah arah. Tidak ada lonceng yang dibunyikan ketika kemuliaan akan datang, dan tidak ada peringatan dini ketika keterpurukan mulai menohok. Ia datang begitu saja, sering kali tidak bisa dijelaskan secara logika. 

Hari ini seseorang berdiri tegak dengan nama yang disebut-sebut, dipuji puja, terkenal dan  esok hari ia bisa jatuh senyap, bahkan dilupakan. Itulah kenyataannya. Maka kebiasaan menghakimi sesama manusia tidak dibenarkan sebelum tabayyun, proses verifikasi dan cek ricek. Proses pendalaman melalui dialog. 

Kemuliaan dan keterpurukan kerap diperlakukan seolah-olah hasil langsung dari kerja keras atau kelalaian pribadi. Yang berhasil dianggap layak dipuji, yang gagal dianggap pantas menanggung akibatnya sendiri. Cara pandang semacam ini memang nyaman, karena menyederhanakan hidup ke dalam rumus sebab-akibat yang rapi. Namun hidup manusia bukan bekerja dengan kerapian seperti itu. Alasan adanya setiap keberhasilan berasal dari banyak kondisi yang memungkinkan. Di balik setiap kegagalan, ada lebih banyak hal yang sering luput dari penglihatan. Dan berkemungkinan besar akan diacuhkan begitu saja. 

Kita hari ini hidup di dalam jaringan keadaan yang tidak sepenuhnya bisa benar-benar kita pilih. Ia lahir dalam situasi tertentu, tumbuh dalam struktur sosial tertentu, dan bergerak di tengah peluang yang tidak pernah dibagi secara merata. Dari sini, menjadi jelas bahwa keterpurukan tidak selalu merupakan hasil dari kesalahan moral, sebagaimana kemuliaan tidak selalu menjadi bukti keunggulan etis. Menilai seseorang hanya dari posisi terakhirnya dalam hidup berarti mengabaikan perjalanan panjang yang penuh liku dan ketidakpastian. Kita abai pada prosesnya. 

Sikap menghakimi sering kali lahir dari jarak. Dari posisi aman, keterpurukan orang lain terlihat sederhana, bahkan terkadang terasa pantas. Padahal, jarak itu sendiri adalah kemewahan. Etika yang sehat justru menuntut kita mendekat—bukan secara emosional yang sentimentil, tetapi secara intelektual dan moral. Mendekat untuk memahami bahwa hidup orang lain tidak pernah sesederhana cerita yang sampai ke telinga kita.

Keterpurukan juga jarang bekerja tunggal. Ia hampir selalu merupakan pertemuan antara kondisi pribadi dan tekanan struktural. Krisis ekonomi, perubahan kebijakan, ketimpangan akses, serta lemahnya perlindungan sosial sering kali bekerja diam-diam, lalu menjelma sebagai kegagalan individu di mata publik. Ketika seseorang jatuh, yang tampak hanya tubuhnya, bukan sistem yang mendorongnya ke tepi. Dalam situasi seperti ini, penghakiman menjadi bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab bersama.

Kita harus menyadari bahwa hidup bekerja melalui “giliran” yang seharusnya melahirkan kehati-hatian moral. Tidak ada posisi yang benar-benar kebal dan abadi. Sejarah, baik yang besar maupun yang personal, penuh dengan kisah orang-orang yang pernah berada di puncak lalu terlempar ke bawah, juga mereka yang bangkit dari keterpurukan yang panjang. Semua ini menunjukkan bahwa nasib bukanlah milik absolut melainkan sesuatu yang terus bergerak, sering kali malah di luar perhitungan rasional manusia.

Pada masyarakat yang gemar merayakan pencapaian, kegagalan menjadi sesuatu yang memalukan. Ia disembunyikan, diringkus dalam stigma, atau dijadikan pelajaran moral yang terlalu cepat. Padahal, kegagalan adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Menghapusnya dari ruang empati hanya akan melahirkan masyarakat yang keras, dingin, dan miskin solidaritas. Kita mungkin tampak kuat secara individu, tetapi rapuh sebagai komunitas.

Menahan diri untuk tidak menghakimi bukan berarti meniadakan tanggung jawab atau membenarkan semua tindakan. Ia adalah upaya untuk menempatkan penilaian pada proporsi yang wajar. Penilaian yang adil membutuhkan konteks, kesabaran, dan kesediaan untuk mengakui bahwa pengetahuan kita tentang hidup orang lain selalu terbatas. Dari sinilah empati menemukan maknanya yang rasional, bukan sekadar emosional.

Kesadaran bahwa “hari ini dia, mungkin besok kita” bukanlah bentuk kalimat penghiburan, melainkan bentuk pengingat yang tegas, semacam kehati-hatian menjangkau masa depan. Ia mengajak kita berdiri dengan lebih rendah hati di hadapan "hidup". Mengingatkan bahwa yang merasa mulia tidak berhak untuk merendahkan, dan yang merasa terpuruk tidak menghapus martabatnya sebagai manusia.

 Dan mungkin sikap paling bijak adalah berhenti sejenak—sebelum menghakimi— merenung, menghitung, mengira langkah dan mengingat bahwa pergiliran hidup ini acak, lucu, absurd, dan istilah sebagainya,  sehingga tidak pernah kita kendalikan serta benar-benar bisa kita atur adanya.[]

Posting Komentar

0 Komentar