Oleh Denni Meilizon
I. PENDAHULUAN
Dunia bergerak cepat, barangkali jauh lebih cepat dari yang bisa dibayangkan. Dalam satu dekade terakhir, lompatan besar dalam teknologi, perubahan iklim, krisis geopolitik, serta pertarungan identitas telah mengguncang hampir seluruh aspek kehidupan manusia. Globalisasi menjanjikan keterbukaan, namun juga membawa ketimpangan. Ia mengaburkan batas geografis dan identitas, menciptakan ilusi bahwa dunia ini milik bersama—padahal realitasnya jauh lebih kompleks. Sementara itu, digitalisasi menyulap kehidupan menjadi serba instan. Dunia terkompresi ke dalam layar kecil di genggaman, ruang dan waktu dimampatkan menjadi sinyal dan notifikasi. Jarak bukan lagi tentang kilometer, tetapi soal koneksi. Namun ironisnya, dalam dunia yang disebut “terkoneksi” itu, manusia justru mengalami keterasingan baru: terpisah oleh algoritma, terkucil dalam ruang gema, dan mudah terprovokasi oleh ketakutan yang dibentuk oleh informasi yang tak utuh.
Pada saat yang sama, kita menyaksikan dunia yang dilanda paradoks: semakin banyak pertemuan antarmanusia, semakin banyak pula benturan antaridentitas. Dalam bayang-bayang modernitas dan kemajuan teknologi, justru muncul gelombang baru intoleransi, krisis empati, dan pembelahan sosial yang tajam. Polarisasi politik makin mengeras, bahkan di ruang-ruang yang dahulu dianggap netral. Agama, yang seharusnya menjadi sumber kasih dan kedamaian, sering kali direduksi menjadi alat segregasi dan eksklusivitas. Suku, ras, dan bahasa yang seharusnya menjadi warisan budaya yang dirayakan, justru kadang menjadi alasan pengucilan. Situasi ini memperlihatkan bahwa keragaman, jika tidak dirawat, bisa berubah menjadi jurang. Dan kebersamaan, jika hanya dijadikan slogan, akan segera lapuk dimakan waktu.
Dalam konteks inilah, kebersamaan dan keragaman kembali menjadi nilai yang mendesak untuk ditinjau ulang, tidak hanya sebagai konsep normatif, melainkan sebagai praktik sosial yang konkret dan hidup. Dua kata ini—yang sering diucap dalam pidato resmi, dihafal di sekolah, dan dicetak dalam baliho politik—ternyata tidak cukup kuat jika tidak dibarengi kesadaran etis dan keberanian politis untuk menjadikannya sebagai fondasi peradaban. Kita tidak hanya perlu “hidup berdampingan”, tetapi juga harus belajar “bertumbuh bersama”. Sebab kebersamaan bukanlah keadaan pasif, melainkan usaha aktif untuk merawat kepercayaan satu sama lain di tengah perbedaan. Keragaman pun bukan sekadar fakta demografis, tapi tantangan epistemologis: bagaimana kita memahami dunia melalui lensa yang berbeda, tanpa merasa paling benar atau paling murni.
Indonesia, dengan segala kompleksitas sejarah dan sosialnya, menjadi medan uji paling penting bagi gagasan ini. Negeri yang dibentuk oleh ribuan pulau, ratusan etnis, dan ratusan bahasa ini sejak awal adalah proyek kebersamaan yang nyaris mustahil. Namun dari kemustahilan itulah muncul satu kesadaran: bahwa persatuan tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari pengakuan akan keragaman. “Bhinneka Tunggal Ika” bukan hanya semboyan, melainkan refleksi dari realitas dan harapan. Tetapi seperti semua cita-cita besar, semboyan itu pun diuji oleh zaman. Dalam era informasi yang riuh, narasi tunggal dengan mudah digantikan oleh friksi-friksi identitas yang tak selesai. Toleransi bisa berubah menjadi basa-basi, dan pluralisme bisa bergeser menjadi sekadar kemasan.
Paper ini mencoba menyigi secara reflektif dan analitis tentang bagaimana nilai-nilai kebersamaan dan keragaman dapat menjadi kunci dalam menjawab tantangan zaman modern. Dengan menelusuri pengalaman Indonesia dalam merawat pluralitasnya, serta melihat bagaimana tantangan-tantangan global—seperti populisme, polarisasi, krisis kepercayaan, dan ancaman disinformasi—menguji ketahanan sosial kita, tulisan ini hendak menegaskan bahwa proyek kebersamaan masih relevan dan mungkin. Tidak hanya dalam konteks negara-bangsa, tetapi juga dalam lingkup komunitas, ruang digital, dan hubungan antarindividu.
Akhirnya, tulisan ini menawarkan satu keyakinan sederhana: bahwa di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, nilai-nilai kebersamaan dan penghargaan atas keragaman bukanlah nostalgia masa lalu, melainkan fondasi masa depan. Sebab hanya dengan merayakan perbedaan, kita bisa menyulam harapan. Dan hanya dengan menyulam kebersamaan, kita bisa menata dunia yang lebih adil dan manusiawi—bukan hanya untuk kita, tapi untuk generasi setelah kita.
II. KERANGKA KONSEPTUAL
Setiap zaman memiliki bahasanya sendiri untuk menjelaskan tantangan dan harapannya. Di tengah dunia yang semakin plural namun juga rentan terhadap perpecahan, dua kata ini—kebersamaan dan keragaman—muncul bukan sekadar sebagai konsep ideal, tetapi sebagai kebutuhan mendesak. Namun sebelum berbicara lebih jauh tentang bagaimana keduanya bisa menjadi solusi atas tantangan zaman, kita perlu terlebih dahulu membedah maknanya secara konseptual, menelusuri akar-akar pemikirannya, serta menghubungkannya dengan konteks sosial-politik saat ini.
2.1 Makna Kebersamaan dan Keragaman
Kebersamaan, dalam pengertian mendasar, adalah kondisi psikososial dan politis di mana individu atau kelompok bersedia dan mampu hidup bersama, berbagi pengalaman, saling memahami, serta mengelola perbedaan secara konstruktif. Ia bukan semata hasil dari kebetulan historis atau kedekatan geografis, melainkan buah dari proses sosial yang aktif—kadang juga melelahkan—untuk membangun jembatan antarindividu maupun antaridentitas. Kebersamaan tumbuh dari empati dan solidaritas, bukan dari penyeragaman pandangan atau dominasi mayoritas.
Kebersamaan yang sehat tidak mengharuskan kesepakatan dalam segala hal, melainkan kemampuan untuk merayakan ketidaksepakatan tanpa terpecah. Di sinilah muncul perbedaan penting antara kebersamaan dan keseragaman. Yang pertama berakar dari kerelaan dan rasa hormat, sedangkan yang kedua cenderung menekan ekspresi keunikan dan membatasi ruang hidup bersama.
Sementara itu, keragaman adalah realitas ontologis sekaligus sosiologis: manusia berbeda satu sama lain dalam dimensi etnis, agama, bahasa, identitas gender, orientasi seksual, budaya, dan cara pandang terhadap hidup. Di Indonesia, keragaman bukanlah isu baru, melainkan fakta dasar yang membentuk identitas kolektif bangsa ini. Namun sejarah juga menunjukkan bahwa keragaman sering kali dianggap ancaman ketimbang kekayaan, terutama bila dilihat dari kacamata politik identitas atau nasionalisme sempit.
Keragaman bukan penyimpangan dari norma, tetapi ekspresi dari kondisi manusia yang kompleks. Tantangannya bukan terletak pada eksistensinya, melainkan pada bagaimana kita mengelolanya: apakah sebagai sumber kekayaan sosial dan inovasi, atau justru sebagai pemicu konflik dan eksklusi. Ketika perbedaan dianggap masalah, maka solusi yang diambil pun cenderung represif. Sebaliknya, ketika keragaman diterima sebagai modal sosial, maka pendekatannya akan berbasis dialog, pengakuan, dan keadilan.
Dalam praktiknya, kebersamaan dan keragaman saling membutuhkan. Tidak mungkin ada kebersamaan yang sejati tanpa pengakuan atas keragaman. Sebaliknya, keragaman yang tidak ditopang oleh rasa kebersamaan akan dengan mudah runtuh dalam konflik. Oleh karena itu, keduanya perlu dipahami bukan sebagai kutub yang berseberangan, tetapi sebagai dua sisi dari satu mata uang yang disebut masyarakat sehat dan beradab.
2.2 Perspektif Teoretis
Untuk memahami lebih dalam bagaimana kebersamaan dan keragaman dapat dibingkai secara ilmiah dan praktis, kita perlu menengok berbagai perspektif teoretis lintas disiplin yang telah lama memikirkan soal ini. Mulai dari sosiologi klasik hingga filsafat politik kontemporer, semua sepakat bahwa hidup bersama dalam perbedaan memerlukan kerangka nilai yang kokoh.
a. Solidaritas Sosial – Émile Durkheim
Sosiolog Prancis Émile Durkheim, dalam karyanya The Division of Labor in Society (1893), membedakan dua bentuk solidaritas: solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik muncul dalam masyarakat homogen di mana nilai, norma, dan praktik sosial relatif seragam. Masyarakat tradisional cenderung mengandalkan solidaritas jenis ini. Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks dan majemuk, solidaritas mekanik tidak lagi mencukupi.
Sebaliknya, Durkheim menekankan pentingnya solidaritas organik, yang dibangun atas dasar perbedaan fungsi dan interdependensi antarindividu maupun kelompok. Dalam solidaritas organik, kebersamaan tidak lahir dari kesamaan mutlak, melainkan dari saling membutuhkan dan menghargai kontribusi unik masing-masing pihak. Konsep ini sangat relevan untuk masyarakat seperti Indonesia, yang terdiri dari begitu banyak identitas yang berbeda tetapi saling terhubung secara sosial, ekonomi, dan kultural.
Durkheim juga mengingatkan bahwa solidaritas yang sehat hanya mungkin terjadi jika ada kepercayaan sosial dan moral kolektif yang memadai. Tanpa itu, masyarakat rentan terjerumus ke dalam kondisi anomie—ketiadaan norma bersama—yang pada akhirnya melahirkan krisis sosial.
b. Keadilan sebagai Fairness – John Rawls
Dalam ranah filsafat politik, pemikiran John Rawls menjadi pilar penting dalam upaya menjawab bagaimana masyarakat yang plural dapat hidup dalam keadilan. Dalam A Theory of Justice (1971), Rawls memperkenalkan gagasan tentang keadilan sebagai fairness, di mana sistem sosial dirancang sedemikian rupa agar memberikan kesempatan setara kepada semua warga, terutama mereka yang paling rentan atau lemah secara struktural.
Rawls percaya bahwa dalam masyarakat demokratis, pluralitas nilai dan cara hidup adalah keniscayaan. Oleh karena itu, struktur institusi publik harus dibangun dengan prinsip keadilan yang menjamin distribusi hak, kewajiban, dan sumber daya secara adil. Rawls juga menekankan pentingnya “veil of ignorance” dalam menyusun kontrak sosial: kita harus membayangkan bahwa kita tidak tahu posisi sosial, etnis, atau agama kita, agar bisa menyusun aturan main yang benar-benar adil bagi semua.
Relevansi pemikiran Rawls dalam konteks kebersamaan dan keragaman adalah bahwa negara tidak bisa netral terhadap ketidaksetaraan. Dalam masyarakat majemuk, kebijakan yang sekadar “netral” kadang justru memperkuat dominasi kelompok mayoritas. Keberpihakan terhadap prinsip keadilan menjadi kunci untuk memastikan bahwa semua kelompok memiliki hak dan suara yang setara.
c. Multikulturalisme dan Pengakuan – Charles Taylor & Bhikhu Parekh
Dari perspektif multikulturalisme, Charles Taylor dan Bhikhu Parekh memberikan kontribusi penting tentang pentingnya pengakuan (recognition) terhadap identitas kultural sebagai syarat hidup bersama yang demokratis. Dalam esainya The Politics of Recognition (1992), Taylor menjelaskan bahwa manusia membutuhkan pengakuan tidak hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari komunitas kultural tertentu. Tanpa pengakuan, kelompok minoritas akan mengalami apa yang disebut “kerusakan identitas” (identity misrecognition), yang berujung pada alienasi dan perlawanan sosial.
Bhikhu Parekh memperluas argumen ini dengan menegaskan bahwa negara tidak cukup hanya bersikap netral; negara harus aktif menciptakan ruang publik yang plural, di mana semua budaya bisa tampil dan berpartisipasi secara setara. Ia menolak pandangan liberal yang mengasumsikan bahwa semua warga dapat berpartisipasi dengan syarat “menanggalkan” identitas kultural mereka. Justru sebaliknya, ruang publik harus bisa mengakomodasi keragaman ekspresi budaya dan spiritual.
Dalam konteks Indonesia, pemikiran Taylor dan Parekh menantang kita untuk melihat ulang bagaimana negara, media, dan institusi pendidikan membingkai keragaman. Apakah minoritas hanya “ditoleransi” atau benar-benar diakui dan dihormati? Apakah suara komunitas adat, minoritas agama, atau kelompok marjinal mendapat ruang setara dalam percakapan publik dan pengambilan keputusan?
2.3 Relevansi Konteks Indonesia
Indonesia tidak lahir dari satu kesamaan tunggal, melainkan dari simpul-simpul keragaman yang diikat oleh kesadaran kolektif untuk hidup bersama. Bangsa ini bukan hasil dari satu bahasa, satu agama, atau satu etnis dominan yang menyerap yang lain. Sebaliknya, Indonesia adalah hasil dari negosiasi panjang antara berbagai perbedaan yang dipersatukan oleh gagasan tentang masa depan bersama. Sejak awal, keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa adalah sebuah eksperimen kebersamaan dalam keragaman yang luar biasa kompleks.
Konsep-konsep teoritis seperti solidaritas organik (Durkheim), keadilan sebagai fairness (Rawls), dan pengakuan multikultural (Taylor dan Parekh) menemukan uji nyatanya di Indonesia. Dalam banyak hal, bangsa ini telah menunjukkan bahwa kebersamaan dalam keragaman bukanlah utopia belaka, tetapi kenyataan yang bisa dijalani—meski tidak tanpa luka, retak, dan tantangan.
a. Sejarah sebagai Pangkal Keragaman
Jika kita menengok sejarah, Indonesia bukanlah entitas tunggal yang bersatu sejak awal. Ia lebih menyerupai semacam persekutuan pulau-pulau dan kerajaan-kerajaan dengan bahasa, budaya, serta sistem kepercayaan yang berbeda-beda. Kolonialisme, meskipun berdampak destruktif dalam banyak hal, justru menjadi katalis terbentuknya kesadaran kolektif akan pentingnya persatuan. Proklamasi kemerdekaan 1945 bukan hanya tindakan politik, tetapi juga simbol bahwa keragaman bisa disatukan dalam satu identitas nasional.
Namun proses ini tidak pernah mulus. Berbagai gejolak separatisme, konflik antaragama dan antarsuku, serta kebijakan sentralisasi pasca-orde baru menunjukkan bahwa keragaman bisa menjadi titik rawan bila tidak dikelola dengan adil. Di sinilah keadilan sebagai prinsip pengikat menjadi penting: tidak cukup hanya mengakui keberagaman secara simbolik, negara juga harus memastikan distribusi kekuasaan, akses ekonomi, dan representasi politik yang merata.
b. Politik Identitas dan Tantangan Kontemporer
Pada era pascareformasi, ruang demokrasi Indonesia terbuka lebih lebar. Namun bersamaan dengan itu, politik identitas mengalami kebangkitan baru. Dalam beberapa kasus, identitas agama, etnis, bahkan daerah, digunakan secara manipulatif demi kepentingan politik elektoral. Polarisasi sosial semakin tajam, terutama terlihat dalam kontestasi Pilpres 2014 dan 2019, serta sejumlah pilkada yang mengeras dalam nuansa sektarian.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa keragaman yang tidak dirawat dengan kesadaran kebersamaan bisa berubah menjadi alat pemecah belah. Dalam kerangka teori Rawls, keadilan sebagai fairness mulai runtuh ketika institusi demokrasi tidak lagi menjamin ruang setara bagi semua identitas. Dalam perspektif Taylor dan Parekh, pengakuan yang seharusnya bersifat membebaskan malah berubah menjadi komodifikasi identitas untuk kepentingan elektoral.
Namun demikian, ada pula tanda-tanda positif dari kesadaran sipil masyarakat Indonesia yang kian tumbuh. Gerakan lintas iman, komunitas antarbudaya, serta inisiatif akar rumput dalam menyelesaikan konflik sosial menjadi bukti bahwa kebersamaan tidak hanya bisa dipaksakan dari atas, tetapi bisa tumbuh dari bawah. Spirit solidaritas organik terlihat ketika masyarakat dari latar belakang berbeda saling membantu dalam bencana, mendukung toleransi dalam komunitas, atau membangun ekonomi inklusif berbasis lokal.
c. Ruang Publik dan Praktik Multikulturalisme
Salah satu tantangan terbesar dalam merawat kebersamaan di tengah keragaman adalah bagaimana membangun ruang publik yang inklusif. Dalam banyak kasus, ruang-ruang sosial, pendidikan, media, dan bahkan tempat ibadah masih cenderung dikotomis dan tertutup terhadap kelompok “lain”. Toleransi, dalam praktiknya, masih sering dimaknai sebagai “kamu boleh ada, asal tidak terlalu kelihatan.” Ini bentuk toleransi pasif yang sangat rentan berubah menjadi penolakan ketika keadaan krisis.
Di sinilah pemikiran Parekh menjadi relevan: negara tidak boleh hanya menjadi penjaga netralitas, melainkan juga fasilitator keberagaman aktif. Pendidikan multikultural harus menjadi dasar kurikulum, bukan sekadar tambahan. Media harus menjadi penghubung antarrealitas budaya, bukan perpanjangan suara mayoritas. Negara harus memastikan bahwa hukum dan kebijakan tidak diskriminatif, baik secara eksplisit maupun implisit.
Contoh konkret keberhasilan multikulturalisme dapat dilihat dalam berbagai praktik lokal seperti Musyawarah Adat di Tanah Papua, Forum Kerukunan Umat Beragama di Ambon, hingga inisiatif-inisiatif lintas etnis di Sumatera Barat dan Kalimantan. Di sana, komunitas-komunitas belajar hidup dalam perbedaan secara aktif, bukan hanya karena tuntutan politik, tetapi karena mereka menyadari bahwa keberagaman adalah realitas yang tidak bisa dihindari, dan justru menjadi kekuatan jika dikelola secara adil.
d. Tantangan Digital dan Fragmentasi Sosial
Satu dimensi baru yang patut diperhatikan dalam konteks Indonesia hari ini adalah keragaman dalam ruang digital. Internet, media sosial, dan algoritma informasi menciptakan medan tempur baru bagi identitas, opini, dan konflik. Ruang digital yang semula diharapkan menjadi jembatan antarindividu justru kerap menjadi medan polarisasi, disinformasi, dan ujaran kebencian. Di balik layar, algoritma bekerja membentuk “ruang gema” (echo chamber) yang hanya memperkuat pandangan sendiri dan melemahkan empati terhadap yang berbeda.
Dalam konteks ini, proyek kebersamaan dan pengelolaan keragaman harus merambah ke dunia digital. Literasi digital, etika informasi, dan algoritma yang berkeadilan adalah isu-isu krusial untuk masa depan. Tanpa upaya sadar untuk membangun solidaritas digital, Indonesia akan menghadapi pembelahan sosial yang lebih tajam dari sebelumnya.
III. KONDISI GLOBAL DAN TANTANGAN MODERN
3.1 Digitalisasi dan Polarisasi
Di tengah lanskap digital yang didominasi kecepatan dan instan, kita menghadapi bentuk keterasingan baru: keterasingan dalam lautan informasi. Jika dahulu perbedaan tumbuh karena kurangnya akses terhadap pengetahuan, kini justru informasi yang melimpah membuat orang terjebak dalam keterbelahan persepsi. Apa yang disebut sebagai echo chambers bukan hanya menciptakan ruang tertutup, tapi juga menumbuhkan ilusi bahwa pandangan kita adalah satu-satunya kebenaran yang sah. Dalam ruang yang dikelola oleh algoritma, kebenaran bukan lagi hasil dari dialog dan verifikasi, melainkan dari seberapa sering ia muncul dalam linimasa kita.
Di sinilah letak ironi besar dari zaman ini: teknologi yang semestinya menjadi penghubung justru menciptakan jurang yang makin lebar. Alih-alih menjembatani perbedaan, media sosial kerap menjadi medan pertempuran narasi. Polarisasi yang dahulu terbatas dalam ranah elite politik kini menyusup ke dalam relasi sehari-hari: antaranggota keluarga, antarwarga desa, antarsesama rekan kerja. Tembok pemisah tak lagi berupa batas fisik, tapi terbentuk dari algoritma personalisasi yang memperkuat bias dan menghapus kemungkinan untuk saling mendengar.
Lebih jauh, algoritma digital bekerja tidak netral. Ia dirancang untuk satu hal: menjaga perhatian. Dan untuk mencapai itu, sistem lebih menyukai konten yang menimbulkan keterlibatan emosional tinggi—marah, takut, jijik—dibanding konten reflektif atau informatif. Hasilnya, konten penuh prasangka, stereotip, bahkan kebencian justru lebih mudah viral. Sekali misinformasi tersebar, apalagi yang menyasar identitas etnis atau kepercayaan, maka luka sosial yang timbul bisa sangat dalam dan sulit disembuhkan. Hoaks bukan hanya persoalan fakta yang keliru, melainkan alat yang mengoyak kepercayaan antarkelompok.
Dalam konteks ini, kebersamaan dan keragaman menghadapi tekanan ganda. Pertama, tekanan kognitif—yakni kecenderungan manusia untuk mencari informasi yang membenarkan keyakinannya (confirmation bias). Kedua, tekanan struktural—yakni sistem digital yang memperkuat bias tersebut secara sistematis. Maka tidak mengherankan jika dalam dunia yang penuh koneksi ini, justru banyak orang merasa lebih terisolasi, lebih curiga, dan lebih mudah menghakimi “yang berbeda”. Keragaman yang seharusnya menjadi sumber pembelajaran dan dialog malah terasa sebagai gangguan. Kebersamaan pun terlihat melelahkan, karena menuntut usaha melampaui kenyamanan persepsi pribadi.
Yang lebih mencemaskan, proses ini terjadi secara senyap dan berulang. Dalam kecepatan arus informasi, kita tak sempat berhenti dan bertanya: siapa yang sedang kita jauhi, atas dasar apa, dan apakah itu pantas? Relasi sosial berubah tanpa kita sadari. Teman-teman yang dulu saling menyapa kini memblokir karena berbeda pandangan. Warga yang dulu saling bantu kini diam karena beda afiliasi politik. Polarisasi bukan lagi kejadian besar yang terliput media, tapi luka-luka kecil yang terus mengikis kepercayaan sosial dari bawah.
Dalam situasi semacam ini, kita perlu menyadari bahwa perjuangan menjaga kebersamaan dan merayakan keragaman tidak bisa hanya bergantung pada niat baik individu. Dibutuhkan kesadaran kolektif dan kebijakan publik yang mampu melindungi ruang bersama dari dominasi narasi tunggal dan kekerasan simbolik. Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak, bukan hanya dalam pengertian teknis—mengenal hoaks dan sumber valid—tetapi juga dalam makna etis dan sosial: bagaimana bersikap dalam ruang maya, bagaimana membangun empati digital, dan bagaimana menghidupkan nilai-nilai dialog dalam medium yang serba cepat ini.
Lebih penting lagi, kita perlu membangun ruang digital yang inklusif dan deliberatif—ruang di mana perbedaan tidak segera dikategorikan sebagai ancaman, melainkan sebagai peluang untuk memahami. Ini bukan tugas mudah, karena membutuhkan infrastruktur, moderasi, dan komitmen etis dari penyedia platform, negara, dan masyarakat sipil. Namun tanpa upaya ke arah itu, kita berisiko membiarkan dunia digital menjadi mesin yang secara halus namun sistematis menggerus tenun sosial kita.
Karena pada akhirnya, masyarakat yang sehat bukanlah masyarakat yang berpikir seragam, melainkan masyarakat yang mampu berbeda tanpa saling meniadakan. Di era digital ini, pertaruhan terbesar kita bukan hanya pada siapa yang paling viral, tetapi pada siapa yang mampu menjaga percakapan tetap terbuka, adil, dan manusiawi. Itulah medan baru dari kebersamaan dan keragaman yang harus kita taklukkan—bukan dengan amarah, tapi dengan kesadaran.
3.2 Perubahan Iklim dan Krisis Ekologis
Perubahan iklim bukan sekadar isu ilmiah, melainkan soal keadilan sosial. Ia menyentuh persoalan mendasar tentang siapa yang paling menderita akibat keputusan yang dibuat oleh pihak lain, di tempat lain, dan pada waktu yang tidak bersamaan. Di balik angka kenaikan suhu bumi, tersembunyi wajah-wajah masyarakat adat yang terusir dari hutan, petani kecil yang gagal panen karena cuaca ekstrem, atau komunitas pesisir yang perlahan kehilangan rumah karena abrasi dan kenaikan air laut. Mereka bukan sekadar korban alam, tetapi korban dari sistem global yang menempatkan pertumbuhan ekonomi di atas keberlanjutan ekologis.
Dalam kerangka ini, keragaman sosial dan geografis menjadi faktor penting dalam memahami dampak perubahan iklim. Tidak semua orang menghadapi bencana dengan sumber daya dan ketahanan yang sama. Masyarakat di negara-negara kepulauan seperti Indonesia, misalnya, menghadapi risiko yang sangat tinggi: dari pulau-pulau yang tenggelam, hingga ekosistem pesisir yang rusak karena eksploitasi berlebih. Namun justru di ruang-ruang ini pula, kita bisa menemukan kearifan lokal yang menyimpan potensi besar untuk merespons krisis dengan cara-cara yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Salah satu pelajaran penting dari krisis iklim adalah bahwa kebersamaan bukan pilihan moral semata, melainkan kebutuhan ekologis. Tak ada satu negara pun yang bisa menghadapi krisis ini sendirian. Polusi udara tidak mengenal batas negara, seperti juga mikroplastik di laut atau krisis air bersih. Dunia saling terhubung dalam jaringan kehidupan yang tak terlihat, dan apa yang dilakukan di satu tempat bisa berdampak di tempat lain. Maka, solidaritas ekologis menjadi kunci. Bukan hanya antarnegara besar di forum internasional, tetapi juga di antara komunitas kecil, antara petani di dataran tinggi dengan nelayan di pesisir, antara generasi sekarang dengan yang akan datang.
Solidaritas ekologis ini tidak akan terbentuk hanya melalui instrumen hukum atau kerangka kebijakan. Ia memerlukan etika kolektif yang tumbuh dari nilai-nilai kebersamaan: rasa cukup, saling menjaga, menghormati keterbatasan alam, serta kepercayaan bahwa keberlangsungan hidup manusia tergantung pada relasi yang adil—baik dengan sesama manusia maupun dengan alam. Di banyak tempat di Indonesia, prinsip-prinsip ini masih hidup dalam praktik: dari sistem subak di Bali, lubuk larangan di Sumatera, hingga praktik hutan adat di Papua dan Kalimantan. Semua ini adalah contoh bagaimana komunitas tradisional mengelola sumber daya berdasarkan rasa tanggung jawab bersama, bukan motif akumulasi.
Namun hari ini, sistem nilai semacam itu terancam oleh logika pasar yang mendorong konsumsi berlebih dan ekstraksi sumber daya secara brutal. Ironisnya, gaya hidup boros energi dan makanan justru menjadi simbol modernitas di banyak kota. Padahal, budaya hemat, prinsip berbagi air dalam irigasi tradisional, atau praktik nyadap karet tanpa merusak pohon, semua itu adalah bentuk konkret dari kebersamaan ekologis yang telah hidup jauh sebelum istilah "green economy" menjadi tren global.
Kita juga perlu melihat bahwa krisis iklim adalah medan baru bagi ketidaksetaraan global. Negara-negara di utara global, yang selama dua abad menjadi penghasil utama emisi karbon, memiliki kapasitas finansial dan teknologi yang besar untuk beradaptasi dan bertahan. Sementara negara-negara di selatan global, seperti Indonesia, Filipina, atau Bangladesh, menghadapi beban ganda: harus menahan dampak paling parah, namun dengan kemampuan mitigasi dan adaptasi yang terbatas. Di sinilah pentingnya membangun diplomasi solidaritas—bukan berdasarkan belas kasihan, tetapi atas dasar keadilan ekologis.
Dalam hal ini, keragaman juga menjadi aset. Cara masyarakat Minangkabau melihat tanah sebagai “pusako tinggi” milik bersama, atau bagaimana masyarakat Dayak memahami hutan sebagai rumah roh dan leluhur, adalah warisan kosmologis yang menyimpan basis etika ekologis yang dalam. Gagasan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya, sangat penting untuk dikembalikan ke dalam diskursus pembangunan dan tata kelola lingkungan.
Oleh karena itu, menjawab tantangan iklim harus dimulai dari transformasi nilai, bukan hanya dari perubahan instrumen teknis. Kita perlu membentuk ulang cara berpikir kita tentang kemajuan, konsumsi, dan relasi sosial. Kebersamaan dan keragaman bukan sekadar narasi untuk toleransi sosial, tetapi juga fondasi untuk membangun dunia yang lebih berkelanjutan. Dunia yang tidak hanya layak huni, tetapi juga adil bagi semua yang tinggal di dalamnya.
Perjuangan melawan krisis iklim, dengan demikian, tidak bisa dilepaskan dari perjuangan untuk membangun masyarakat yang inklusif, setara, dan saling menjaga. Karena bumi yang sehat tidak mungkin tumbuh di atas masyarakat yang saling mencurigai. Seperti halnya keberagaman yang tidak akan bertahan tanpa kebersamaan, demikian pula ekosistem yang rapuh tidak akan bertahan tanpa solidaritas ekologis lintas batas dan lintas generasi.
3.3 Krisis Demokrasi dan Meningkatnya Intoleransi
Dalam iklim demokrasi yang terdistorsi oleh politik identitas dan polarisasi ekstrem, keragaman yang seharusnya menjadi kekuatan justru berubah menjadi alat mobilisasi konflik. Identitas yang semula bersifat sosial-kultural kini direduksi menjadi senjata elektoral. Suku, agama, dan ras tidak lagi menjadi fondasi saling mengenal, tetapi dijadikan batas tegas antara “kami” dan “mereka.” Ketika partai-partai politik berlomba memanfaatkan sentimen primordial untuk meraih suara, yang hilang bukan hanya etika berpolitik, tetapi juga masa depan demokrasi itu sendiri.
Di Indonesia, gejala ini terlihat semakin terang dalam satu dekade terakhir. Polarisasi yang tajam dalam pemilihan presiden, ujaran kebencian di media sosial, hingga kriminalisasi atas dasar keyakinan atau afiliasi politik, semua menjadi bukti bahwa kebinekaan kita sedang diuji secara serius. Dalam narasi yang dipertajam oleh algoritma dan disinformasi, lawan politik bukan lagi mitra dalam demokrasi, tetapi musuh yang harus disingkirkan. Proses politik berubah dari arena deliberasi menjadi gelanggang permusuhan.
Namun tantangan ini bukan hanya soal politik tingkat elit. Efeknya merembes ke ruang-ruang sosial yang lebih intim: keluarga yang pecah karena beda pilihan politik, pertemanan yang renggang karena beda pandangan, dan ruang publik yang dipenuhi ketegangan sosial laten. Demokrasi yang lahir dari semangat musyawarah kini tergelincir menjadi arena penghakiman moral. Orang dinilai bukan dari ide dan kapasitasnya, tetapi dari “kelompok mana dia berasal.” Dalam atmosfer seperti ini, kesediaan untuk mendengar, memahami, dan membangun titik temu menjadi barang langka.
Padahal, demokrasi yang sehat tidak bisa tumbuh di atas monokultur sosial. Ia memerlukan pluralisme yang aktif—yakni sebuah keadaan di mana perbedaan tidak hanya diakui, tetapi dirayakan dan dikelola secara konstruktif. Pluralisme yang pasif, sekadar menerima adanya perbedaan tanpa mekanisme perjumpaan, hanya akan melahirkan toleransi yang rapuh, mudah runtuh saat diuji tekanan. Sebaliknya, pluralisme aktif menuntut keberanian untuk bersentuhan dengan yang berbeda, untuk berdialog tanpa harus sepakat, dan untuk bersatu tanpa harus seragam.
Di sinilah letak pentingnya kebersamaan sebagai fondasi demokrasi yang matang. Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu, tetapi juga soal trust sosial—rasa percaya antarkelompok warga negara bahwa mereka hidup dalam satu nasib bersama. Tanpa rasa percaya ini, lembaga demokrasi kehilangan maknanya. Pemilu berubah jadi ritual kosong, lembaga legislatif jadi medan transaksional, dan kebijakan publik tidak lagi berorientasi pada keadilan bersama, melainkan pada kepentingan kelompok dominan.
Untuk itu, demokrasi perlu kembali pada etos dasar kebersamaan: penghargaan terhadap perbedaan, keterbukaan terhadap dialog, dan pengakuan atas kesetaraan. Ini berarti pendidikan kewargaan harus lebih dari sekadar pengajaran hak dan kewajiban, tetapi juga pembentukan empati dan imajinasi sosial. Media juga harus mengambil peran sebagai ruang edukatif, bukan sekadar ladang klikbait yang memperdalam jurang polarisasi. Dan tentu saja, elite politik harus berhenti menjadikan keragaman sebagai amunisi kampanye, tetapi merawatnya sebagai prasyarat bagi masa depan bangsa.
Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai ini sebetulnya telah lama hidup dalam budaya lokal. Tradisi musyawarah untuk mufakat, prinsip adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, hingga falsafah Bhinneka Tunggal Ika, semuanya menegaskan bahwa demokrasi dan keberagaman bukan dua kutub yang saling bertentangan, melainkan satu kesatuan yang saling menguatkan. Namun nilai-nilai itu harus diaktualisasikan secara sadar di tengah realitas digital dan politik kontemporer yang rawan deviasi.
Demokrasi yang kokoh hanya bisa berdiri di atas kesadaran bahwa setiap warga negara, dari latar apa pun, memiliki martabat dan hak yang setara dalam ruang kebangsaan. Kebersamaan dalam keragaman bukan hanya nilai yang luhur secara moral, tetapi juga syarat fungsional bagi demokrasi itu sendiri. Tanpa itu, pemilu hanya akan memperdalam luka, dan kekuasaan hanya akan memperkuat yang sudah kuat, sambil menyingkirkan yang lemah.
Kini, tugas kita bukan hanya melindungi keragaman dari bahaya homogenisasi, tetapi juga menyelamatkan demokrasi dari jebakan identitas sempit. Karena hanya dalam ruang yang terbuka bagi semua suara, demokrasi bisa bernapas. Dan hanya dengan menjunjung kebersamaan, kebinekaan bisa menjadi pilar, bukan pecahan.
IV. INDONESIA: KEBERAGAMAN YANG NYATA
4.1 Kekayaan Multikultural sebagai Kenyataan Historis
Indonesia bukan hanya negara besar secara geografis, tetapi juga salah satu negara dengan keragaman kultural tertinggi di dunia. Dengan lebih dari 17.000 pulau, lebih dari 700 bahasa daerah, dan ratusan suku bangsa, Indonesia merupakan mozaik sosial yang tak mudah dicari padanannya. Sejak awal, keberagaman bukanlah pilihan, tetapi fakta.
Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika—berbeda-beda tetapi tetap satu—mewujud sebagai fondasi ideologis yang menyatukan negeri ini. Namun, nilai-nilai ini tidak selalu berjalan mulus dalam praktik. Tantangan integrasi bangsa telah hadir sejak awal kemerdekaan: dari pemberontakan daerah, ketegangan ideologis, hingga benturan antaragama dan antaretnis.
Keberagaman di Indonesia bukan sekadar soal budaya, tetapi juga agama, kelas sosial, hingga cara hidup. Sebuah upaya mengelola keberagaman tidak hanya membutuhkan sikap toleran, tetapi juga mekanisme keadilan sosial dan inklusi.
4.2 Luka Sosial dan Ketimpangan
Indonesia juga tidak lepas dari luka-luka sosial akibat konflik horisontal. Konflik Ambon, kerusuhan Sambas, tragedi Poso, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, hingga pengucilan terhadap kelompok minoritas agama atau gender—semuanya meninggalkan bekas yang belum sepenuhnya pulih.
Selain itu, ketimpangan pembangunan antara pusat dan pinggiran juga memperlebar jurang sosial dan ekonomi. Masyarakat di Papua, Kalimantan pedalaman, dan Nusa Tenggara masih tertinggal dalam akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Ketimpangan ini tidak hanya menumbuhkan rasa ketidakadilan, tetapi juga mengancam kohesi sosial.
Kebersamaan dan keragaman, dalam konteks Indonesia, bukan hanya soal budaya dan harmoni, tetapi juga soal redistribusi kekuasaan, pemerataan sumber daya, dan pemulihan luka sejarah. Tanpa keadilan sosial, kebersamaan akan mudah menjadi slogan kosong.
4.3 Merawat Kebersamaan: Dari Slogan ke Aksi
Kebersamaan dalam keragaman tidak cukup ditegaskan dalam pidato kenegaraan atau dicetak di buku pelajaran kewarganegaraan. Ia harus hadir dalam kebijakan publik yang adil, dalam keseharian warga negara yang saling peduli, dan dalam ruang-ruang sosial yang memberi tempat bagi semua suara. Bila tidak, semboyan seperti Bhinneka Tunggal Ika akan kehilangan nyawanya, tinggal sebagai hiasan lambang negara tanpa daya aktualisasi.
Dalam pengalaman Indonesia, merawat kebersamaan bukan hanya tentang membangun rasa nasionalisme, tetapi juga mengakui luka dan ketimpangan yang masih berlangsung. Banyak komunitas merasa hanya "disapa" dalam seremoni kebangsaan, tetapi ditinggalkan dalam pembangunan nyata. Misalnya, masyarakat adat yang kehilangan hak atas tanah ulayat mereka demi investasi besar; atau komunitas minoritas yang terus-menerus menjadi objek curiga karena keyakinannya yang berbeda. Dalam kondisi seperti ini, kebersamaan terasa timpang: ada yang dilindungi penuh, ada yang sekadar ditoleransi.
Oleh karena itu, merawat kebersamaan berarti menciptakan ruang kesetaraan yang sungguh-sungguh. Kesetaraan bukan berarti menyamakan semua orang, tetapi memberi kesempatan yang adil bagi siapa pun untuk hidup bermartabat. Ini termasuk akses terhadap pendidikan yang berkualitas di daerah terpencil, layanan kesehatan yang merata, perlindungan hukum yang tidak diskriminatif, hingga kebebasan berekspresi bagi kelompok yang kerap dibungkam.
Dalam konteks ini, pembangunan di Indonesia perlu lebih dari sekadar proyek infrastruktur atau pencapaian ekonomi makro. Pembangunan sosial dan budaya harus menjadi pilar utama. Pendidikan multikultural, media yang berpihak pada nilai toleransi, dan partisipasi warga dalam proses politik harus diperkuat untuk membentuk masyarakat yang tidak mudah terprovokasi oleh narasi perpecahan.
4.5 Pembelajaran dari Akar Rumput
Meski Indonesia menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga keragamannya, banyak inisiatif dari akar rumput yang layak dijadikan teladan. Di banyak desa, komunitas berbeda agama hidup berdampingan, saling menjaga tempat ibadah satu sama lain. Di wilayah-wilayah yang pernah dilanda konflik, seperti Maluku atau Poso, warga kini membangun kembali jaringan solidaritas berbasis trauma bersama dan harapan baru. Di perkotaan, gerakan lintas iman, kelompok seni kolaboratif, hingga komunitas advokasi inklusi menunjukkan bahwa keragaman bukan ancaman, melainkan sumber kekayaan sosial dan spiritual.
Gerakan akar rumput ini membuktikan bahwa narasi besar tentang kebersamaan tidak hanya bisa datang dari atas. Seringkali justru rakyat kecil yang paling mengerti arti hidup berdampingan, karena mereka tahu betul: tanpa kedamaian, hidup mereka akan lebih sulit. Kebersamaan yang mereka bangun bukan utopia, tetapi hasil dari perjumpaan sehari-hari—di pasar, di ladang, di jalan kampung—yang melampaui sekat identitas formal.
Tantangannya kini adalah bagaimana negara dan elite politik tidak merusak simpul-simpul kebersamaan yang telah dibangun masyarakat. Ketika politik memainkan isu SARA demi elektabilitas, atau ketika kebijakan merugikan kelompok rentan atas nama pertumbuhan ekonomi, maka kebersamaan itu perlahan dirusak dari dalam.
4.6 Menuju Kontrak Sosial Baru
Keberagaman Indonesia yang luar biasa tidak mungkin dikelola dengan cara-cara lama yang sentralistik dan top-down. Era modern menuntut pendekatan baru—yang lebih inklusif, partisipatif, dan sensitif terhadap dinamika lokal. Di sinilah pentingnya membangun kontrak sosial baru: semacam kesepakatan moral bersama bahwa negara dan warga harus sama-sama menjaga ruang hidup yang adil, setara, dan terbuka bagi semua.
Kontrak sosial ini harus menempatkan keberagaman sebagai prinsip dasar demokrasi. Bukan sekadar toleransi yang pasif, tetapi pengakuan aktif terhadap hak semua orang untuk berbeda dan tetap dihormati. Dalam kontrak ini, negara harus menjamin perlindungan bagi semua warga, bukan hanya yang mayoritas atau yang dominan secara politik dan ekonomi. Dan warga negara, pada gilirannya, harus bersedia belajar hidup bersama, menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, dan membangun solidaritas lintas identitas.
Indonesia telah membuktikan bahwa keberagaman bisa menjadi sumber kekuatan. Tapi kekuatan itu hanya akan bertahan bila terus dirawat. Dan perawatan itu tidak bisa ditunda, tidak bisa diserahkan hanya kepada negara, dan tidak bisa dijalankan dengan slogan. Ia membutuhkan kesadaran kolektif, kemauan politik, dan—yang terpenting—keberanian untuk mengubah cara kita memandang satu sama lain.
V. STRATEGI PENGUATAN KEBERSAMAAN DAN KERAGAMAN
5.1 Pendidikan Inklusif dan Berbasis Empati
Pendidikan adalah kunci. Namun, selama ini pendidikan cenderung hanya menekankan kompetisi, bukan kolaborasi. Kurikulum kita juga minim narasi keberagaman lokal. Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari sistem sejak dini—mengajarkan anak mengenali dan menghargai perbedaan, belajar sejarah kelompok lain, serta berlatih empati dalam kehidupan nyata.
Sekolah juga harus menjadi ruang aman bagi semua identitas, tanpa kekerasan simbolik atau tekanan budaya mayoritas. Guru perlu dilatih untuk memiliki perspektif interkultural dan kemampuan membangun ruang dialog.
5.2 Kebijakan Sosial yang Adil
Pemerintah perlu merumuskan kebijakan afirmatif untuk memastikan kelompok minoritas atau marjinal mendapat akses yang setara terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan representasi politik. Tanpa kebijakan yang berpihak pada yang lemah, kebersamaan hanya akan menjadi retorika.
Undang-undang antikebencian dan perlindungan hak-hak komunitas adat dan minoritas gender harus ditegakkan. Negara tidak boleh netral dalam menghadapi intoleransi.
5.3 Penguatan Partisipasi Komunitas
Kebersamaan dan keragaman hanya bisa bertahan jika dikelola oleh masyarakat sendiri. Ruang publik—baik offline maupun online—harus dibuka untuk partisipasi warga dari berbagai latar belakang. Kegiatan lintas budaya, forum diskusi lintas iman, kerja bakti lintas suku—semua bisa menjadi cara sederhana merawat tenun sosial.
Komunitas lokal perlu difasilitasi untuk membangun jejaring solidaritas antarkampung, antarkota, dan antargenerasi. Pendekatan partisipatif lebih ampuh daripada pendekatan top-down.
5.4 Media sebagai Ruang Kritis dan Representatif
Di era digital, media memegang peranan sentral dalam membentuk persepsi publik. Namun, alih-alih menjadi ruang pembelajaran kolektif, media—terutama media sosial—sering menjadi medan pertarungan identitas, pemicu polarisasi, dan penyebar kebencian. Oleh karena itu, media perlu direformulasi bukan hanya sebagai alat penyampai informasi, tetapi juga sebagai ruang perjumpaan yang adil dan edukatif.
Media arus utama harus lebih sadar akan tanggung jawab sosialnya. Representasi kelompok minoritas, masyarakat adat, dan suara pinggiran harus diangkat tidak sebagai eksotisme, tetapi sebagai bagian dari kenyataan sosial yang setara. Liputan yang adil dan empatik dapat mempersempit jarak sosial dan membangun jembatan antarkelompok.
Sementara itu, literasi media di kalangan masyarakat juga harus diperkuat. Masyarakat perlu dibekali kemampuan untuk mengenali narasi provokatif, membedakan berita dan hoaks, serta membangun etika berdialog di ruang digital. Media komunitas—baik lokal maupun berbasis isu—dapat menjadi kanal alternatif untuk menyuarakan identitas yang kerap disingkirkan oleh narasi dominan.
5.5 Ekonomi Inklusif dan Kolaboratif
Kebersamaan tidak cukup hanya dijaga di ranah budaya dan sosial—ia juga harus dimanifestasikan dalam struktur ekonomi. Ketimpangan ekonomi yang tajam akan selalu melahirkan kecemburuan sosial, ketegangan identitas, dan disintegrasi. Oleh karena itu, ekonomi kerakyatan yang inklusif dan berbasis keadilan perlu dikembangkan.
Konsep koperasi, ekonomi berbasis komunitas, serta kewirausahaan sosial dapat menjadi jalan keluar dari model ekonomi yang eksploitatif dan tidak merata. Dalam konteks Indonesia yang beragam, kolaborasi lintas suku, lintas agama, dan lintas kelas dalam usaha bersama bisa menjadi praktik nyata dari solidaritas dan gotong royong.
Pemerintah dan sektor swasta perlu mendukung inisiatif ekonomi yang menghargai keragaman—dari produk UMKM berbasis budaya lokal, hingga ekowisata berbasis masyarakat adat. Dengan demikian, keragaman tidak hanya dihormati secara simbolik, tetapi juga menjadi sumber kesejahteraan bersama.
5.6 Kepemimpinan yang Mengayomi
Akhirnya, strategi penguatan kebersamaan dan keragaman mensyaratkan kepemimpinan yang inklusif, visioner, dan empatik. Pemimpin di semua tingkat—dari RT hingga presiden—perlu menjadi teladan dalam menghormati perbedaan, menghindari ujaran kebencian, dan membangun dialog yang tulus di tengah perbedaan pandangan.
Kepemimpinan semacam ini bukan soal figur karismatik semata, tetapi tentang keberanian untuk mendengar yang lemah, kesediaan untuk mengakui luka sejarah, dan komitmen untuk mengangkat yang tertinggal. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, pemimpin sejati bukan yang memenangkan semua suara, tetapi yang mampu menjaga semua suara tetap terdengar.
VI. TANTANGAN IMPLEMENTASI
Menghidupkan kebersamaan dan keragaman tidaklah mudah. Beberapa tantangan yang kerap muncul antara lain:
- Resistensi Kultural: Sebagian masyarakat merasa nilai-nilai tradisional atau agama mereka terancam oleh semangat pluralisme. Ini menimbulkan penolakan yang bersifat emosional.
- Polarisasi Politik dan Medsos: Algoritma media sosial terus memperparah pembelahan. Upaya membangun kebersamaan sering dilabeli sebagai “toleransi semu” atau dianggap tidak berpihak.
- Tokenisme dan Simbolisasi Kosong: Banyak institusi mengklaim inklusif tetapi hanya pada permukaan. Tidak cukup hanya memajang simbol keberagaman jika tidak diikuti dengan kebijakan nyata.
VI. PENUTUP
Menjahit Ulang Tenun Sosial Indonesia
Kebersamaan dan keragaman bukanlah konsep yang bisa berdiri sendiri tanpa kerja kolektif yang berkelanjutan. Dalam konteks Indonesia, keduanya bukan hanya ideal moral, tetapi juga kebutuhan historis dan politik. Kita tidak mungkin bertahan sebagai bangsa tanpa kemampuan untuk hidup bersama dalam perbedaan. Justru karena Indonesia begitu beragam—secara geografis, budaya, agama, bahasa, dan kelas sosial—kita dituntut untuk lebih kreatif dan sadar dalam merawat persatuan.
Namun, kebersamaan yang sejati tidak tumbuh dari semboyan dan seremoni. Ia lahir dari pengalaman hidup bersama, dari keadilan yang dibagi merata, dari keberanian untuk mengakui luka, dan dari kesediaan untuk mendengar yang berbeda. Keragaman pun bukan sesuatu yang cukup dirayakan dalam festival, tetapi harus dibangun dalam struktur kebijakan, dalam pendidikan, dalam ekonomi, dan dalam narasi sehari-hari.
Tantangan zaman ini—termasuk krisis iklim, transformasi digital, urbanisasi, hingga pergeseran nilai generasi—membutuhkan solidaritas baru. Kebersamaan bukanlah nostalgia, melainkan modal sosial untuk masa depan. Kita memerlukan cara baru untuk menyebut “kita” tanpa harus menghapus “mereka”. Kita harus bisa membayangkan bangsa yang tidak seragam, tetapi setara. Yang tidak homogen, tapi harmonis.
Proyek kebangsaan Indonesia adalah proyek yang belum selesai. Ia bukanlah rumah jadi, tetapi rumah yang terus dibangun dan diperbaiki. Kita semua adalah tukang-tukangnya. Maka dari itu, merawat kebersamaan dan keragaman bukanlah beban pemerintah semata, tetapi panggilan setiap warga.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, Indonesia bisa menjadi contoh bahwa pluralisme bukan kutukan, melainkan kekuatan. Bahwa dari ribuan bahasa dan wajah, kita bisa tetap menjalin cerita bersama. Bahwa di tengah godaan untuk saling menjauh, kita justru memilih untuk saling mendekat.
Dan dari situ, demokrasi kita akan bertumbuh bukan hanya sebagai sistem politik, tapi sebagai laku hidup bersama—yang merangkul, bukan menghapus; yang merawat, bukan mencurigai; yang membangun masa depan bersama, bukan sekadar bertahan dalam reruntuhan masa lalu.
[DAFTAR PUSTAKA]
- Durkheim, E. (1893). The Division of Labor in Society.
- Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
- Taylor, C. (1992). Multiculturalism and the Politics of Recognition.
- Parekh, B. (2000). Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory.
- Kompas.id, Tirto.id, BPS.go.id
- Dokumen FKUB Yogyakarta, TBM Literasi Nusantara, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


0 Komentar