Reproduksi Sosial dan Diferensiasi Kultural: Membaca Dinamika Pembentukan Komunitas Baru dalam Ekologi Sosial Kontemporer

Denni Meilizon NST, S.AP

 Pemerhati Sosial dan Pendidikan, Pegiat Literasi

Abstrak

Fenomena pembentukan komunitas baru oleh anggota lama merupakan dinamika sosial yang kerap terjadi dalam organisasi berbasis nilai dan relasi nonformal. Tulisan ini menganalisis proses tersebut melalui kerangka teori modal sosial dan kultural (Bourdieu, 1986), konsep presentation of self (Goffman, 1959), teori community of practice (Wenger, 1998), serta gagasan etika pengakuan (Honneth, 1995). Hasil analisis menunjukkan bahwa pemisahan anggota tidak selalu mencerminkan konflik internal, melainkan bentuk reproduksi sosial yang menandakan keberhasilan komunitas dalam membentuk otonomi dan kapasitas individu. Namun, penghindaran terhadap penyebutan komunitas asal menimbulkan persoalan etika pengakuan, yaitu melemahnya relasi timbal balik antara individu dan institusi sosial yang telah membentuknya. Tulisan ini menyimpulkan bahwa komunitas yang matang seharusnya menempatkan fenomena pemisahan sebagai bagian dari siklus pembelajaran sosial, bukan ancaman terhadap eksistensi. Dengan membangun memori kelembagaan dan etika pengakuan, komunitas dapat menjaga kesinambungan nilai tanpa bergantung pada loyalitas simbolik individu.

Kata Kunci: komunitas, reproduksi sosial, modal kultural, etika pengakuan, komunitas baru, dinamika organisasi, memori kelembagaan


Pendahuluan

Komunitas sosial merupakan entitas dinamis yang selalu berubah mengikuti pergeseran nilai, orientasi, dan motivasi individu di dalamnya. Salah satu fenomena menarik dalam dinamika tersebut ialah terbentuknya komunitas baru oleh anggota lama. Fenomena ini tampak paradoksal: di satu sisi menunjukkan keberhasilan komunitas dalam membangun kapasitas sosial dan kultural, namun di sisi lain menimbulkan pertanyaan tentang loyalitas dan kontinuitas nilai.

Dalam dua dekade terakhir, pola ini tampak jelas di berbagai komunitas di Indonesia—komunitas literasi, seni, pendidikan, teknologi, hingga relawan sosial—yang awalnya tumbuh dari relasi solidaritas, lalu terfragmentasi menjadi entitas baru. Sebagian masyarakat menilainya sebagai bentuk konflik atau perpecahan, padahal dalam perspektif sosiologis, fenomena tersebut bisa dibaca sebagai proses reproduksi sosial yang wajar dalam perkembangan organisasi berbasis nilai.

Tulisan ini berupaya memeriksa fenomena tersebut secara konseptual dengan mengajukan tiga pertanyaan utama: (1) bagaimana komunitas menjadi arena produksi modal sosial dan kultural yang mendorong lahirnya otonomi individu? (2) bagaimana strategi simbolik dan motif sosial bekerja dalam pembentukan komunitas baru? dan (3) apa implikasi etis dari penghapusan atau pengakuan terhadap komunitas asal?

Tinjauan Teoretis

2.1. Modal Sosial dan Kultural (Bourdieu, 1986)

Bourdieu memandang masyarakat sebagai medan (field) tempat berbagai bentuk modal—sosial, kultural, ekonomi, dan simbolik—diproduksi dan dipertukarkan. Komunitas berfungsi sebagai arena akumulasi modal tersebut. Melalui interaksi sosial yang intens, individu membangun jaringan (modal sosial) serta habitus dan kapasitas intelektual (modal kultural) yang dapat menjadi sumber daya sosial di kemudian hari.

Dalam konteks komunitas nonformal, proses belajar bersama, kolaborasi, dan kegiatan sosial menjadi bentuk investasi modal kultural. Anggota komunitas membangun kepercayaan, reputasi, dan legitimasi yang kelak menjadi bekal ketika mereka bergerak secara independen.

2.2. Presentasi Diri dan Identitas Sosial (Goffman, 1959)

Goffman melalui The Presentation of Self in Everyday Life menegaskan bahwa kehidupan sosial adalah panggung pertunjukan. Individu berupaya mengelola kesan (impression management) agar citra diri sesuai dengan peran yang ingin ditampilkan di hadapan publik. Dalam konteks pemisahan komunitas, penghapusan jejak komunitas asal dapat dibaca sebagai strategi identitas: upaya membangun front stage baru yang independen dari masa lalu.

2.3. Komunitas Praktik (Wenger, 1998)

Etienne Wenger memperkenalkan konsep community of practice—komunitas sebagai ruang pembelajaran sosial di mana anggota mengembangkan praktik, makna, dan identitas melalui partisipasi kolektif. Dalam siklus pembelajaran ini, individu bergerak dari pinggiran menuju pusat partisipasi (legitimate peripheral participation), lalu sering kali melahirkan praktik baru. Ketika anggota membentuk komunitas baru, hal itu dapat dibaca sebagai reproduksi dari pembelajaran sosial yang berhasil.

2.4. Etika Pengakuan (Honneth, 1995)

Axel Honneth menekankan pentingnya recognition atau pengakuan sebagai dasar moral kehidupan sosial. Pengakuan merupakan bentuk resiprositas yang menegaskan martabat individu sekaligus legitimasi institusi sosial yang menaunginya. Penghapusan pengakuan terhadap komunitas asal dapat dianggap sebagai krisis moral, karena menghapus relasi timbal balik antara individu dan sumber pembentuknya.

 Komunitas sebagai Inkubator Modal Sosial dan Kultural

Komunitas berfungsi sebagai wadah pengasuhan nilai, tempat individu belajar tentang kerja sama, tanggung jawab, dan produksi makna bersama. Dalam konteks ini, komunitas dapat diibaratkan sebagai inkubator sosial—ia menanamkan habitus dan nilai-nilai yang kelak diinternalisasi oleh para anggotanya.

Ketika anggota telah mengakumulasi cukup modal sosial dan kultural, muncul kebutuhan baru: otonomi dan ruang aktualisasi. Proses ini analog dengan mekanisme diferensiasi sosial. Anggota yang memiliki kapasitas tinggi mulai merasa terbatas oleh struktur lama yang cenderung hierarkis. Maka pembentukan komunitas baru menjadi jalan bagi ekspansi modal dan inovasi sosial.

Fenomena ini dapat pula dipahami sebagai bentuk symbolic succession, yakni pewarisan simbolik dari komunitas lama ke yang baru. Dalam banyak kasus, nilai-nilai dasar seperti kolaborasi, kepercayaan, dan pembelajaran tetap terbawa, meski narasi kelembagaan berubah.

Motif Sosial dan Strategi Simbolik dalam Pemisahan

Pembentukan komunitas baru tidak pernah lepas dari motif sosial dan strategi simbolik. Pertama, dorongan untuk autonomi dan kebebasan kreatif. Anggota yang tumbuh dalam komunitas lama mungkin merasa perlu bereksperimen dengan pendekatan baru yang tidak sepenuhnya sejalan dengan struktur lama. Kedua, ada motif representasional—keinginan untuk menampilkan citra baru yang lebih sesuai dengan konteks zaman. Ketiga, ada strategi simbolik: menghapus asosiasi dengan komunitas asal untuk menghindari subordinasi simbolik.

Goffman (1959) memberi kerangka analisis yang berguna untuk membaca tindakan ini sebagai performance of identity. Ketika komunitas baru berusaha tidak disebut sebagai “turunan” dari yang lama, mereka sedang mengatur ulang narasi sosial untuk membangun legitimasi baru di mata publik. Namun, strategi ini memiliki konsekuensi moral: potensi terputusnya hubungan genealogis dengan sumber nilai yang melahirkannya.

Implikasi terhadap Komunitas Asal

Fenomena pemisahan menimbulkan dua jenis implikasi utama bagi komunitas asal.

  1. Implikasi simbolik.

Penghindaran terhadap penyebutan komunitas asal menimbulkan disonansi simbolik: komunitas merasa dihapus dari sejarah sosial yang ikut dibentuknya. Ketegangan ini sering memunculkan rasa kehilangan, bahkan trauma kolektif.

  1. Implikasi fungsional.

Di sisi lain, pemisahan ini merupakan validasi terhadap keberhasilan komunitas sebagai human capital incubator. Ia menandakan bahwa proses pembelajaran sosial telah berhasil menciptakan individu dengan kapasitas kepemimpinan dan kemampuan mandiri.

Dalam perspektif community of practice, proses tersebut merupakan kelanjutan alami dari siklus pembelajaran. Keberhasilan komunitas justru diukur dari kemampuannya melahirkan praktik-praktik baru yang menandai penyebaran nilai. Dengan demikian, perpisahan bukanlah kegagalan, melainkan bentuk regenerasi sosial.

Etika Pengakuan dan Memori Kelembagaan

Meskipun wajar secara struktural, penghapusan afiliasi terhadap komunitas asal menimbulkan dilema etis. Honneth (1995) menegaskan bahwa pengakuan merupakan fondasi moral bagi eksistensi sosial. Tanpa pengakuan, tidak ada kontinuitas nilai maupun solidaritas moral yang menopang hubungan sosial.

Dalam konteks komunitas, pengakuan terhadap asal-usul sosial bukan semata penghormatan terhadap individu tertentu, melainkan terhadap proses pembentukan diri yang bersifat kolektif. Ketika komunitas baru meniadakan jejak asal, maka yang hilang bukan hanya identitas historis, tetapi juga memori sosial—kesadaran bahwa kapasitas individu dibentuk oleh jaringan nilai yang lebih luas.

Oleh karena itu, komunitas asal perlu membangun memori kelembagaan yang kuat: dokumentasi sejarah, arsip kegiatan, dan narasi publik yang menegaskan kontribusinya terhadap ekosistem sosial. Dengan cara ini, keberlanjutan nilai tidak bergantung pada loyalitas simbolik, melainkan pada rekam jejak empiris yang dapat diverifikasi.

Dinamika Reproduksi dan Pembelajaran Sosial

Komunitas yang berbasis nilai pada umumnya melewati tiga fase perkembangan: pembentukan, pematangan, dan reproduksi.

  • Fase pembentukan ditandai oleh idealisme dan kedekatan personal. Modal sosial bersifat afektif dan informal.
  • Fase pematangan menghadirkan tantangan struktural: pembagian peran, birokrasi, serta perbedaan visi.
  • Fase reproduksi muncul ketika sebagian anggota menginternalisasi nilai dan merasa siap untuk mengembangkan bentuk baru.

Fenomena reproduksi sosial yang sehat ditandai oleh dua hal:

  1. Keberlanjutan nilai-nilai dasar, dan
  2. Adanya pengakuan terhadap akar sosial.

Ketika keduanya terjaga, pembentukan komunitas baru menjadi bagian dari siklus regeneratif yang memperkaya lanskap sosial. Sebaliknya, jika reproduksi terjadi tanpa pengakuan, maka akan muncul reproduksi kehilangan — perpecahan yang menghapus jejak memori kolektif.

Konteks Indonesia: Fragmentasi dan Solidaritas

Dalam konteks Indonesia, komunitas sering tumbuh dari solidaritas lokal dan semangat gotong royong. Namun, karena sifatnya yang nonformal, banyak komunitas tidak memiliki struktur kelembagaan yang kuat. Akibatnya, fragmentasi mudah terjadi.

Kasus pembentukan komunitas literasi, lingkungan, dan seni di berbagai daerah menunjukkan pola serupa: anggota lama yang kemudian mendirikan wadah baru dengan orientasi serupa. Meski secara substantif menunjukkan keberlanjutan nilai, secara simbolik sering kali muncul ketegangan karena absennya pengakuan terhadap komunitas asal.

Kondisi ini menunjukkan bahwa pembangunan komunitas di Indonesia tidak hanya memerlukan inovasi kegiatan, tetapi juga penguatan memori sosial dan etika pengakuan. Tanpa itu, reproduksi sosial akan berjalan tanpa kontinuitas moral.

Penutup

Fenomena pembentukan komunitas baru oleh anggota lama merupakan cermin dari ambivalensi antara otonomi individu dan kontinuitas kolektif. Dalam kerangka teori sosial, fenomena ini menandai keberhasilan komunitas dalam menciptakan kapasitas individu yang otonom, sekaligus tantangan bagi komunitas asal dalam menjaga kesinambungan nilai.

Komunitas yang matang tidak menilai keberhasilan dari seberapa banyak anggotanya bertahan, tetapi dari sejauh mana nilai-nilainya dapat direplikasi secara mandiri. Namun, keberlanjutan nilai itu hanya mungkin jika disertai etika pengakuan dan pembangunan memori kelembagaan.

Dalam ekologi sosial yang lebih luas, pembentukan komunitas baru bukanlah kehilangan, melainkan bagian dari siklus kehidupan sosial. Ketika benih nilai tumbuh menjadi cabang-cabang baru, maka yang perlu dijaga adalah akar: kesadaran akan asal, penghormatan terhadap proses, dan komitmen pada keberlanjutan nilai bersama.

 

Daftar Pustaka

Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and Research for the Sociology of Education (pp. 241–258). Greenwood Press.

Freeman, J. (1986). The ecology of organizational founding: American labor unions, 1836–1985. American Journal of Sociology, 92(3), 522–546.

Goffman, E. (1959). The Presentation of Self in Everyday Life. Anchor Books.

Honneth, A. (1995). The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflicts. MIT Press.

Wenger, E. (1998). Communities of Practice: Learning, Meaning, and Identity. Cambridge University Press.

Abdillah, J. B., Prabasmoro, T., & Mahzuni, D. (2025). Community identity construction: A case study of digital literacy activists in Next Generation Indonesia Community. Satwika: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial, 9(1), 128-139. UMM Scientific Journals

Shinta – Prastyanti. (2024). Ketahanan Sosial Masyarakat Banyumas Pada Sektor Pendidikan Dalam Perspektif Reproduksi Sosial. Jurnal Ketahanan Nasional, 30(1). Journal Universitas Gadjah Mada

 Hempri Suyatna, Matahari Farransahat, Rindu Firdaus, Puthut Indroyono, & Istianto Ari Wibowo. (2024). Challenging Social Capital to Develop Community-based Digital Economy Platform in the Traditional Market. Journal of Social Development Studies, 5(1). Journal Universitas Gadjah Mada

Fathimah Fildzah Izzati. (2025). “Women’s Work” in Indonesia’s Social Media-Based Online Store Businesses: Social Reproduction and the Feminization of Work. Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities. Ejournal Portal

Imron, A., Somawati, N. P., & Mohammed, L. A. (2025). Preserving mother tongues remains crucial for cultural identity and diversity amid the homogenizing forces of globalized educational systems. Journal of Language, Literature, Social and Cultural Studies, 3(2), 128-141. ympn.co.id

Kusmaningtyas, R. F., Hidayat, A., Soebiakto, G. P., Permana, A. F., & Abdullah, I. H. (2023). Traditional Cultural Expression as an Embodiment of Indigenous Communities and Regional Identity (Semarang Indonesia Case). Journal of Indonesian Legal Studies, 8(1), 45-92. UNNES Journal

Esa Jati Manunggal Sukma Adhi & Trisni Utami. (2025). Access, Community Capacity, and Socio-Economic Impacts on the Implementation of Social Forestry Programs in the Perum Perhutani KPH Telawa Working Area. Masyarakat: Jurnal Sosiologi, 30(1).

 

 

 

 


Posting Komentar

0 Komentar