Menggantang Asap: Jejak Dukungan Muhammadiyah untuk Bupati Yulianto

 
Abdul Rofiq Marwah

Di Pasaman Barat, istilah “menggantang asap” punya makna getir.
Ia menggambarkan sebuah usaha yang sia-sia, seolah menampung sesuatu yang tak bisa dipegang.
Ungkapan itu kini sering terdengar di perbincangan kader-kader Muhammadiyah — terutama ketika mereka mengenang masa Pilkada setahun silam, saat dukungan terhadap Yulianto mengalir deras dari berbagai simpul persyarikatan.
“Dulu kami ikut berjuang, berharap ada perubahan. Tapi kini, rasanya seperti menggantang asap,” ujar seorang guru Muhammadiyah di Kinali dengan nada tenang, tapi sarat makna.
Pernyataan sederhana itu mencerminkan perasaan banyak orang.
Bahwa perjuangan moral dan dukungan sosial yang diberikan oleh warga Muhammadiyah untuk kemenangan seorang calon bupati, kini seolah hilang tanpa bekas.
Bukan karena menuntut imbalan, tapi karena nilai-nilai yang diperjuangkan dulu tak tampak lagi di ruang kebijakan.
Sejak awal berdirinya di Pasaman Barat — wilayah yang dulu masih bagian dari Kabupaten Pasaman — Muhammadiyah bukan hanya hadir sebagai organisasi keagamaan, melainkan penggerak pendidikan dan sosial.
Ada sekitar 23 Amal Usaha Pendidikan Muhammadiyah di Pasaman Barat. Ada 14 cabang dengan ranting-rantingnya. Cabang-cabangnya aktif menggerakkan dakwah, tabligh akbar, pengajian ibu-ibu Aisyiyah, serta kegiatan Angkatan Muda Muhammadiyah yang terorganisir.
Amal usaha Muhammadiyah adalah salah satu tonggak pendidikan Islam modern di Pasaman Barat.
Guru-guru Muhammadiyah dikenal disiplin, jujur, dan berjiwa sosial. Mereka mengajar di sekolah-sekolah negeri, madrasah, hingga di pedalaman seperti Ranah Batahan, Sasak dan Talu.
Banyak lulusannya di antara mereka kini menjadi ASN — kepala sekolah, pejabat dinas, atau staf pemerintahan — yang tumbuh dari semangat ikhlas membangun nagari.
Karena itu, ketika memasuki masa Pilkada 2024, Muhammadiyah menjadi kekuatan moral dan sosial yang tak bisa diabaikan.
Walau tidak secara resmi berpolitik praktis, simpatisan dan kader di lapangan menjadi simpul-simpul penggerak yang membentuk arus dukungan masyarakat.

Menjelang Pilkada 2024, nama Yulianto, yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Bupati, muncul sebagai calon kuat.
Ia dikenal sebagai sosok humanis, ramah, dan punya kedekatan dengan dunia pendidikan.
Beberapa tokoh Muhammadiyah di tingkat daerah dan cabang melihatnya sebagai figur yang bisa membawa semangat perubahan — sosok yang bisa menjembatani dunia birokrasi dan nilai-nilai keumatan.
Di berbagai tempat, kader dan warga Muhammadiyah ikut menjadi penggerak sosial di akar rumput. Bergerak masif menjadi bagian euforia. 
Bukan melalui kampanye besar-besaran, tapi lewat pendekatan yang khas: pengajian, silaturahmi, diskusi keagamaan, hingga pertemuan kecil di sekolah atau mushalla. Bahkan di kedai kopi.
“Yang kami perjuangkan waktu itu bukan sekadar kemenangan calon, tapi harapan akan hadirnya pemimpin yang peduli pada pendidikan dan moral,” tutur seorang pengurus Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Pasaman Barat saat ditemui dalam acara tabligh akbar tahun lalu.
Dukungan itu nyata.
Sebagian warga ikut mengatur pertemuan, menyiapkan tempat, hingga menyalurkan informasi di jejaring sosial.
Mereka merasa, inilah saat di mana suara moral dan dakwah bisa bersanding dengan kekuasaan politik.
Sebuah politik nilai — bukan transaksional — yang lahir dari harapan tulus.

Ketika hasil Pilkada diumumkan dan kemenangan berpihak kepada Yulianto, suasana haru menyelimuti banyak warga Muhammadiyah.
Mereka percaya, perjuangan itu akan berbuah kolaborasi baru antara pemerintah daerah dan ormas keagamaan.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah berharap dukungan pembangunan.
Guru-guru berharap ada perhatian terhadap kesejahteraan dan fasilitas pendidikan.
Para ASN dari kalangan kader berharap bisa ikut menguatkan birokrasi yang bersih dan profesional.
Namun waktu membuktikan hal sebaliknya.
Hubungan itu perlahan menjauh.
Tidak ada konflik terbuka, tetapi komunikasi terputus.
Bantuan yang diharapkan tak kunjung datang. Program pendidikan berbasis ormas tidak masuk dalam prioritas daerah.

Salah seorang kepala sekolah Muhammadiyah di Ujung Gading berkata lirih:
“Kami tidak menagih. Tapi kami juga tidak bisa pura-pura tidak berharap. Karena sejak awal, yang kami bawa adalah semangat membangun pendidikan, bukan kepentingan pribadi.”
Di tingkat ASN, banyak kader Muhammadiyah merasa idealisme mereka kini terhimpit di antara loyalitas struktural dan panggilan moral.
Padahal, nilai-nilai keislaman dan integritas yang mereka bawa seharusnya menjadi modal penting bagi birokrasi.

Tak bisa dipungkiri, banyak SDM Muhammadiyah yang berperan besar dalam pemerintahan Pasaman Barat.
Dari guru, kepala sekolah, pejabat dinas, hingga tenaga teknis di berbagai instansi — mereka adalah wajah-wajah yang tumbuh dari kultur ikhlas dan disiplin.
Sebagian besar adalah alumnus sekolah Muhammadiyah, penggerak Angkatan Muda Muhammadiyah, tumbuh dari kultur keluarga yang sejak kakek nenek sudah Muhammadiyah.
Ketika Yulianto menjabat, harapan sempat tumbuh:
akan ada ruang bagi mereka untuk mengabdi dengan nilai-nilai etika, profesionalisme, dan integritas.
Namun realitas birokrasi tak seindah harapan.
Promosi jabatan lebih sering ditentukan oleh kedekatan politik.
Beberapa ASN yang dikenal aktif di Muhammadiyah bertanya-tanya apakah dipercaya untuk posisi strategis atau sebaliknya. 
Seorang pegawai di salah satu dinas di Simpang Empat menuturkan,
“Kami tidak kecewa karena tidak dapat jabatan. Tapi kami sedih karena nilai-nilai yang kami perjuangkan dulu tidak ikut hidup di kebijakan publik.”
Di sisi lain, kader Muhammadiyah tetap bekerja dengan penuh tanggung jawab.
Mereka tidak berhenti mengajar, membina masyarakat, atau menggerakkan kegiatan sosial.
Mereka tahu, bekerja dengan niat ikhlas adalah bagian dari ibadah — bahkan ketika tidak mendapat pengakuan.

Muhammadiyah tak menolak politik, tapi menempatkannya sebagai bagian dari dakwah.
Dalam konteks lokal Pasaman Barat, dukungan warga Muhammadiyah kepada Yulianto bukanlah soal “politik kekuasaan”, melainkan “politik nilai”.
Mereka ingin melihat pemerintahan yang adil, bersih, dan berpihak kepada pendidikan serta kemanusiaan.
Namun dalam realitas politik daerah, idealisme seringkali tenggelam dalam arus kepentingan.
Setelah kemenangan diraih, dinamika kekuasaan berjalan sendiri.
Yang dulu berjuang di barisan moral, kini hanya menjadi penonton.
Kader yang dulu berkorban waktu dan tenaga, kini kembali pada kesunyian amal usaha — mengajar, berdakwah, dan bekerja dalam keterbatasan.
Kisah seperti ini bukan pertama kali terjadi di Sumatera Barat.
Banyak ormas keagamaan yang dulu menjadi penopang moral kandidat kepala daerah, kemudian dilupakan setelah pemilihan usai.
Namun Muhammadiyah harus belajar untuk tidak larut dalam kekecewaan.
Karena bagi mereka, dukungan itu bukan soal menang-kalah, melainkan soal menanam kebaikan.

Sekalipun banyak yang merasa perjuangan itu seperti menggantang asap, sejatinya asap pun meninggalkan aroma.
Aroma itu kini tercium di ruang kelas sekolah Muhammadiyah, di pengajian malam Kamis, pengajuan subuh pagi,  dan di kegiatan sosial di nagari-nagari.
Di sana, nilai-nilai keikhlasan dan ketulusan masih menyala.
Lihatlah Pondok Pesantren Muhammadiyah di Kinali yang tetap berdiri tegak walau tanpa bantuan besar dari pemerintah daerah.
Atau SD Muhammadiyah di Ujung Gading yang masih mengajar anak-anak petani dengan semangat guru yang digaji seadanya.
Itulah wajah sebenarnya dari perjuangan Muhammadiyah — tidak bergantung pada kekuasaan, tapi tetap bersinar di tengah ketiadaan.
Bagi mereka, mendukung pemimpin bukanlah soal pamrih, melainkan tanggung jawab moral untuk menegakkan kebenaran.
Dan ketika harapan tidak berbalas, yang tersisa bukan dendam, melainkan tekad untuk tetap berbuat baik.
Dari perjalanan itu, ada pelajaran besar:
bahwa ormas keagamaan dan kekuasaan politik tak pernah bisa sepenuhnya sejalan jika nilai dijadikan alat.
Namun jika keduanya bertemu dalam semangat pelayanan publik, hasilnya bisa luar biasa.
Muhammadiyah di Pasaman Barat kini lebih berhati-hati.
Mereka tetap membuka ruang dialog, tapi tidak ingin lagi berharap lebih pada politik praktis.
Mereka memilih kembali ke akar gerakan — membangun manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan dakwah sosial.
Karena hanya di sanalah perubahan sejati bisa bertahan.
Dari kampung ke kampung, dari mushalla ke sekolah, gerakan kecil itu terus hidup.
Para kader muda Muhammadiyah kini aktif di literasi, di komunitas sosial, di kegiatan anak muda, bahkan di gerakan lingkungan.
Mereka membawa semangat baru: bahwa politik boleh datang dan pergi, tapi nilai harus tetap tinggal.
Pada akhirnya, perjuangan Muhammadiyah untuk kemenangan Yulianto mungkin tak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Namun di balik itu semua, ada pelajaran yang jauh lebih berharga:
bahwa keikhlasan adalah fondasi dari segala amal, dan amal yang ikhlas tak pernah hilang, meski tak diakui.
Kini, api perjuangan itu masih menyala di ruang-ruang kelas, di masjid, dan di hati para kader yang bekerja tanpa sorotan.
Mereka tidak lagi menggantang asap, karena telah belajar bahwa asap hanyalah tanda bahwa api pernah menyala.
Dan selama ada yang menjaga bara itu, nilai-nilai Muhammadiyah tak akan padam di Pasaman Barat.
“Kami tak butuh pengakuan. Cukup tahu bahwa perjuangan kami dicatat di langit,”
kata seorang sesepuh Muhammadiyah di Talamau, sambil menatap senja yang jatuh di balik Gunung Pasaman.
Dari kata-kata itu, kita belajar:
politik bisa berubah, kekuasaan bisa berganti, tapi pengabdian yang tulus akan abadi dalam sejarah dan hati umat.

Pasaman Barat, Oktober 2025
#Catatan #Refleksi #Muhammadiyah #PasamanBarat #MenggantangAsap

Posting Komentar

0 Komentar