Oleh : Denni Meilizon
Makan bukan sekadar urusan perut.
Ia adalah bahasa paling dasar dari kemanusiaan: rasa lapar adalah ratapan tubuh yang menuntut keadilan. Di balik sepotong roti atau sepiring nasi, ada harkat manusia yang mesti dijaga.
Maka ketika negara meluncurkan gagasan Program Makan Bergizi Gratis, itu sejatinya bukan hadiah dari penguasa, melainkan pemenuhan hak paling elementer setiap anak bangsa: hak untuk tumbuh sehat, cerdas, dan bermartabat.
Indonesia sedang berada pada persimpangan krusial. Program makan bergizi gratis menjadi janji politik sekaligus harapan publik. Ia bukan sekadar proyek sosial, tetapi penentu arah peradaban. Jika dikelola baik, ia bisa menjadi investasi generasi emas 2045. Jika dikelola buruk, ia hanya akan menjadi nasi basi yang terbuang sia-sia.
Pemerintah telah mengumumkan bahwa program ini menyasar jutaan anak sekolah dan kelompok rentan. Media memberitakan, mulai dari anggaran yang fantastis, target penerima, hingga rencana teknis pelaksanaan. Antusiasme publik besar, namun keraguan pun mengemuka.
Ada yang bertanya: dari mana anggaran sebesar itu akan ditutupi? Bagaimana menjamin kualitas gizi di tengah rantai birokrasi yang panjang? Siapa yang mengawasi agar tidak terjadi kebocoran dan manipulasi?
Tantangan teknis jelas yakni, distribusi di negeri kepulauan yang luas, kualitas gizi yang seringkali berbeda standar antar daerah, pengawasan yang rawan diwarnai praktik koruptif serta keterlanjuran politik populis, di mana program lebih jadi alat pencitraan ketimbang solusi jangka panjang.
Namun di balik itu, harapan tetap ada. Sebab bangsa ini tidak kekurangan pangan, yang kurang adalah sistem yang adil dan transparan.
Indonesia toh tidak sendirian. Banyak negara telah lebih dulu menjalankan program serupa, dengan ragam model dan keberhasilan yang berbeda-beda.
India – Mid-Day Meal Scheme: Sejak 1995, anak sekolah dasar mendapat makan siang bergizi. Hasilnya nyata: menurunkan angka putus sekolah, memperbaiki status gizi, sekaligus memberdayakan perempuan karena banyak pekerja dapur adalah ibu-ibu lokal.
Brazil – Fome Zero: Program “Zero Hunger” menyinergikan makan gratis dengan pemberdayaan petani kecil. Pemerintah membeli langsung dari petani lokal, sehingga rantai ekonomi rakyat hidup.
Jepang – Shokuiku (pendidikan makanan): Program makan gratis di sekolah bukan sekadar memberi makanan, tapi mendidik anak menghargai pangan, memahami gizi, dan belajar kebersamaan.
Amerika Serikat – National School Lunch Program: Sejak 1946, memberi makan siang bersubsidi bagi jutaan siswa. Meski menghadapi kritik soal kualitas gizi, program ini tetap bertahan karena dipandang vital bagi kesehatan dan pendidikan.
Tiongkok – Nutrition Improvement Program for Rural Students: Diluncurkan sejak 2011, menjangkau lebih dari 40 juta siswa di pedesaan. Pemerintah memberi subsidi harian sekitar 4 yuan per anak, membangun dapur sekolah, serta mendukung distribusi bahan pangan lewat pusat logistik dengan cold chain system. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan status gizi, tinggi badan, dan nilai akademik siswa penerima program. Meski masih menghadapi tantangan—seperti kesenjangan kualitas antar daerah, limbah makanan, dan risiko keamanan pangan—Tiongkok membuktikan bahwa program skala masif bisa berjalan jika didukung infrastruktur, transparansi, dan evaluasi ilmiah.
Perbedaan utama dengan Indonesia ada pada integrasi kebijakan. Negara-negara itu mengaitkan program makan dengan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi lokal. Bukan semata proyek bantuan, melainkan sistem sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Bahaya terbesar program makan bergizi gratis adalah jika ia jatuh pada logika proyek. Misalnya: kontrak besar dimonopoli perusahaan katering, sementara petani lokal terabaikan. Atau menu disusun sekadar untuk kenyang, bukan untuk gizi seimbang.
Program ini harus menjadi jalan memanusiakan manusia. Artinya:
Makanan bukan sekadar isi kotak nasi, tapi harus dipikirkan sebagai media pendidikan rasa, gizi, dan budaya.
Anak-anak tidak diperlakukan sebagai objek bantuan, melainkan subjek yang berhak atas kualitas hidup lebih baik.
Petani lokal, nelayan, peternak kecil dilibatkan agar rantai ekonomi rakyat berputar.
Masyarakat harus mengawasi dan terus mengingatkan agar jangan ada monopoli oleh segelintir pihak. Standar gizi harus jelas, bukan sekadar nasi, mi, atau gorengan murah.
Program harus disertai literasi gizi, bukan hanya bagi anak, tetapi juga guru dan orang tua.
Beberapa saran yang perlu disesuaikan agar program ini berhasil, yaitu:
Pertama, gunakan Model Implementasi Hybrid
Menggabungkan dapur sekolah dengan pasokan dari petani sekitar. Di kota besar bisa melalui katering bersertifikat, tetapi di desa harus berbasis komunitas lokal.
Kedua, lakukan Pengawasan Partisipatif
Libatkan guru, orang tua, LSM, hingga organisasi keagamaan dalam pengawasan. Transparansi menu, anggaran, hingga sumber pangan harus dibuka.
Ketiga, segera susun Kurikulum Gizi Terintegrasi
Makan gratis bisa jadi pintu masuk pendidikan gizi. Anak belajar soal sayur, buah, susu, protein, sekaligus budaya makan sehat.
Keempat, pastikan program Berbasis Keadilan Sosial
Jangan hanya menyasar sekolah negeri di kota, tetapi juga madrasah, pesantren, sekolah pelosok, hingga anak jalanan.
Kelima, Keberlanjutan
Program ini tidak boleh hanya berhenti di janji lima tahun. Ia harus masuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional. Negara harus berani menginvestasikan anggaran besar, karena imbalannya adalah generasi sehat, cerdas, dan produktif.
Di dalam makanan sehat dan bergizi itu, ada doa agar seorang anak tumbuh cerdas. Di dalamnya ada harapan agar seorang bocah punya tenaga mengejar cita-cita.
Program makan bergizi gratis harus ditempatkan dalam kerangka itu: bukan sekadar angka-angka anggaran, tapi hakikat kemanusiaan. Ia adalah soal bagaimana negara menjaga martabat warganya sejak dini.
Sejarah akan mencatat, apakah bangsa ini sungguh-sungguh memanusiakan manusianya. Dan program makan bergizi gratis bisa menjadi tonggak sejarah—asal dijalankan dengan niat tulus, sistem yang adil, dan pengawasan yang ketat.
Makan adalah hak. Gizi adalah martabat. Dan generasi sehat adalah masa depan.[]
RBP, Ujung Gading. 21 September 2025
0 Komentar