Melarat Sejak dalam Pikiran: Ketika Pintu Dibukakan Seseorang Tapi Kau Enggan untuk Segera Keluar Walau Kau Tersekap dan Tersiksa


Oleh : Denni Meilizon*

("Seseorang tidak bisa menjadi manusia sepenuhnya jika dia tidak menjadi subjek dalam sejarahnya sendiri.” — Paulo Freire)

ADA kemiskinan yang luput dari perhatian. Bukan kemiskinan materi yang bisa diukur dari isi dompet atau jumlah aset, melainkan kemiskinan dalam pikiran. Kemiskinan mental ini jauh lebih berbahaya dan membatasi, karena ia merantai kesadaran dan meredupkan harapan.

Ungkapan “melarat sejak dalam pikiran” bukan sekadar sindiran. Ia mengingatkan tentang bagaimana cara kita memandang diri, dunia, dan kemungkinan-kemungkinan dalam hidup. Jika kemiskinan materi bisa diatasi dengan distribusi sumber daya, kemiskinan pikiran hanya bisa disembuhkan dengan pembebasan kesadaran. Dan menurut saya, tidak ada tokoh yang merumuskan ini dengan lebih tajam dari Paulo Freire, seorang pendidik dan filsuf asal Brasil, dalam karyanya yang legendaris, Pedagogy of the Oppressed.

Ketika kita berbicara tentang “tertindas”, apa yang terbayang? Orang miskin, pengangguran, atau mereka yang tak punya akses pendidikan?

Menurut Freire, ketertindasan bukan hanya persoalan ekonomi atau politik, melainkan persoalan kesadaran. Ia berbicara tentang mereka yang hidup dalam sistem yang menindas, namun tak sadar sedang ditindas. Bahkan lebih tragis, mereka yang sudah terbiasa merasa layak ditindas, menerima posisi sebagai “kelas bawah” tanpa upaya mempertanyakan.

Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menyebut kondisi ini sebagai “keterasingan kesadaran” (conscientização). Individu yang teralienasi dari kesadaran kritis tidak hanya kehilangan kemampuan untuk melihat ketidakadilan di sekitarnya, tetapi juga kehilangan harapan dan kemauan untuk memperbaiki nasibnya.

Sistem pendidikan yang lazim kita jalani sering kali beroperasi ala “pendidikan gaya bank”. Guru diibaratkan sebagai pemilik pengetahuan yang bertugas mengisi “rekening kosong” para murid.

Model ini melahirkan manusia-manusia yang patuh dan mudah dikendalikan. Mereka diajarkan untuk tidak mempertanyakan, tidak menentang, dan tidak bermimpi lebih dari yang sudah ditentukan.

Fenomena ini bisa kita temukan dalam kehidupan sehari-hari: lulusan sarjana yang takut mengemukakan pendapat, karyawan yang malas bertanya demi menjaga “harmoni”, atau warga yang pasrah menerima ketidakadilan begitu saja sebagai sesuatu yang “wajar”.

Nah sebagai lawan dari pendidikan gaya bank, Freire menawarkan model pendidikan dialogis yang revolusioner. Dalam model yang dikemukakannya ini, guru dan murid adalah subjek yang belajar bersama dalam sebuah dialog kritis. Mereka saling bertukar pengalaman, bertanya, dan mencari makna.

Tujuan pendidikan dialogis adalah memicu kesadaran kritis — suatu kondisi di mana individu mampu melihat dan memahami struktur penindasan, serta menyadari potensinya untuk melakukan perubahan.

Freire menegaskan, “Pedagogy must be forged with, not for, the oppressed.” Pendidikan bukan dilakukan atas nama mereka yang tertindas, tetapi dibangun bersama mereka sebagai agen perubahan.

Apa relevansi pemikiran Freire bagi kita hari ini? Sangat besar.

Di Indonesia, bersamaan dengan melesatnya kemajuan teknologi digital dan perubahan cara penduduk dunia memandang ataupun memperlakukan hidup, kita masih menemukan tanda-tanda apa itu "melarat sejak dari dalam pikiran" itu. 

 Banyak orang dengan gelar tinggi tapi takut bertanya. Banyak yang bekerja dengan gaji layak tapi enggan berani menyuarakan kebenaran.

Budaya “takut salah”, “jangan ribut”, dan “ikut saja” sudah membentuk mentalitas pasif yang membelenggu kreativitas dan keberanian.

Ada lagi paradoks lain yang muncul dari kemajuan teknologi informasi yang seharusnya memerdekakan pikiran, tapi justru menjeratnya dalam ketergantungan pada perangkat gawai. Smartphone dan gadget (gawai) yang kita genggam setiap hari, bukannya menjadi jendela kebebasan berpikir, malah sering menjadi kurungan yang menghalangi kita untuk melakukan refleksi kritis.

Betul, kita semakin mudah menerima informasi secara pasif, tanpa upaya memverifikasi kebenaran atau melakukan cross-check. Arus informasi instan dan deras dari media sosial maupun platform digital membuat kita rentan terperangkap dalam hoaks, narasi yang menyesatkan, dan bias yang memperkuat keterasingan kesadaran.

Kondisi ini memperparah kemiskinan pikiran dalam bentuk baru: ketidakmampuan memilah fakta dan opini, takut mempertanyakan narasi mayoritas, serta malas berdebat dan mengkritik. Bukannya membuka ruang dialog, teknologi sering kali justru memperkuat pola pikir pasif dan membatasi kapasitas kita untuk berpikir mandiri.

Ini menunjukkan bahwa kemiskinan pikiran bukan masalah individu semata, melainkan persoalan sistemik yang berakar pada cara kita dibentuk sejak kecil melalui pendidikan, budaya, dan lingkungan sosial—dan kini diperparah oleh cara kita berinteraksi dengan teknologi.

Mengutip Albert Einstein, “The value of a college education is not the learning of many facts but the training of the mind to think.” Pendidikan sejati melatih kita untuk berpikir kritis dan bertindak berdasarkan pemahaman mendalam terhadap realitas.

Untuk itu, setiap individu dan komunitas perlu membuka ruang dialog, refleksi, dan aksi kolektif agar kesadaran kritis berkembang dan menumbuhkan kekuatan bersama untuk merombak ketidakadilan.

Kini, di era informasi yang penuh dengan distraksi dan overload data, tantangan terbesar bukan lagi akses pengetahuan, melainkan keberanian untuk berpikir bebas dan berbuat.

Mau sampai kapan kita hidup dalam belenggu pikiran yang melarat?
Mau sampai kapan kita membiarkan pendidikan, budaya, dan teknologi membentuk kita jadi manusia yang takut melawan ketidakadilan?

Kemerdekaan sejati tidak datang dari revolusi besar atau perubahan sistem semata, tapi dari satu keberanian kecil yang konsisten: berani berpikir, berani bertanya, dan berani bertindak.

Melarat sejak dalam pikiran adalah jerat paling berbahaya yang membuat kita alpa bahwa dunia bisa diubah, bahwa nasib bisa diperbaiki, dan bahwa diri kita adalah agen perubahan. Melalui pendidikan yang membebaskan dan tumbuhnya kesadaran kritis, kita dapat mengurai jerat itu dan menulis ulang sejarah kita — tentunya sebagai manusia yang merdeka, bermartabat dan pikiran terbebaskan.[]

*Penulis lahir di Silaping Pasaman Barat dan menetap di Simpang Ampek Pasaman Barat. Ketua Forum Pegiat Literasi Pasaman Barat. Menulis beberapa buku, puisi, cerita dan lagu. 

Posting Komentar

0 Komentar