PUISI - PUISI RUNGO ASHTA

 Aku yang Menggendong Diriku Pulang

Aku, tidak matahari

tapi setiap pagi aku memaksa cahaya menyeruak dari luka 

menjadi terang dalam dada

aku bukan karang yang tabah diempas ombak

tapi aku gigih menambal retak dalam tadah doa

menyulam sabar antara sela napas yang tersengal
pernah aku berperang melawan cermin

melihat bayang yang ingin menyerah

segera kubujuk ia berdamai

kutepuk pundaknya,

kubisikan, hari ini kita masih bisa 

 

Aku sempoyongan di jalan gulita

menapak langkah dengan sumbu harap

setiap jatuhnya airmata

kutampung menjadi benih

dan lihatlah, dari sana tumbuh kekuatan

aku pernah menjadi musuh bagi diriku

kini aku memeluknya seperti ibu

yang tak lagi marah pada anak tersesat

tak ada medali di dadaku

hanya bekas luka yang berkilau dalam diam

tapi aku tahu,

setiap bekas itu adalah bintang kecil

yang menerangi perjalanan pulang 

Pasaman, 24 Oktober 2025

 

Di Balik Dada Tanah yang Retak

 

 Di lembah yang selalu tabah berdoa

awan kelabu gelisah merajut rahasia hujan

Mereka tumpah tanpa jeda

seolah lupa bahwa semesta punya batas napas

Sungai yang kemarin manja

tetiba mata merahnya nyalang

arus menggertak

tumpah ruah

kemarahan yang lama tidur

di lorong batu-batu yang kita abaikan

kini terjaga


Tanah ikut mengiba dengan suara berat

berguncang dari kedalaman umur tua

tanah yang tak ingin runtuh

walau dipaksa tangan-tangan rakus

perlahan lereng melepas tubuhnya

seperti pasrah namun

; getir

seolah merobek sunyi yang tinggal

 

Rumah-rumah berlari tanpa kaki

mengejar keselamatan yang kian sunyi

dan malam menutup mata

tidak kuat menyaksi duka semesta.

 Pasaman, 29 November 2025

 

Nestapa Sebidang Sawah

 

 

Di tepi langit yang muram

air tumpah bagai duka hati

membawa arus seperti gelombang nestapa

menyapu hijau yang pernah disemai dengan doa

 

Padi-padi yang baru merunduk

rebah seperti tubuh rapuh dihempas badai

butir harapan yang hendak dituai

tenggelam dalam lumpur

hilang ditelan derasnya musim yang bengis

 

Ibu berdiri di pematang yang terbelah

menatap sawah bagai kitab yang luntur tulisannya

tiada lagi aksara hijau yang mengabarkan panen

hanya arus kelam

menyisakan sunyi pada dada yang sesak

 

Di tangannya 

cangkul terasa ringan

namun hatinya berat bagai batu karam

Ia tahu, padi adalah nyawa yang ia titipkan

pada setiap butir nasi di meja makan

dan kini nyawa itu hanyut

dalam gelap air yang tak kenal belas kasih dan menyusut

Pasaman, September 2025

 


Tentang Penyair

Rungo Ashta merupakan nama pena dari Gusmarita, SM. Perempuan kelahiran Pasaman Barat 29 tahun lalu. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karyanya dimuat dalam buku solo, berbagai antologi, dan sejumlah media daring. Ia merupakan pendiri Akademi Menulis Metafora, sebuah ruang belajar menulis yang tengah tumbuh dan berkembang. Bergiat di dunia literasi sejak masa kuliah dalam berbagai komunitas literasi. Kemudian merambah ke Pasaman Barat dalam komunitas FPL Pasaman Barat. Aktif juga sebagai siswa Sekolah Menulis elipsis, WIN Indonesia, dll. Saat ini berdomisili di Tapus, Kab. Pasaman. Pembaca dapat menyapa melalui sosial media dengan nama akun FB Ashta Ritha Novendri

Posting Komentar

0 Komentar