Layak Atau Tidak Layak


Di dunia kepemimpinan, dua kata sederhana — layak dan tidak layak — telah menjadi pembeda nasib, jalan, bahkan harga diri. Namun keduanya bukan sekadar label administratif; ia adalah hasil dari tarik-menarik antara kompetensi, moralitas, dan persepsi sosial. Siapa yang layak memimpin? Siapa yang tidak layak? Pertanyaan itu kini semakin sulit dijawab karena batas antara kebenaran dan citra telah kabur oleh permainan ego dan pencitraan.

Psikologi kepemimpinan menyebut bahwa persepsi kelayakan bukan hanya ditentukan oleh kompetensi teknis, tetapi juga oleh emotional intelligence (Goleman, 2018). Pemimpin yang mampu mengelola emosi dan empati cenderung dianggap layak, meski kadang belum tentu benar-benar efektif. Di sisi lain, pemimpin yang rasional dan jujur bisa dianggap “dingin” dan “kurang karisma”. Maka, kelayakan kini sering kali lebih bersifat emosional daripada rasional.

Fenomena ini makin diperparah oleh efek Dunning-Kruger — di mana mereka yang kurang kompeten justru lebih percaya diri memimpin (Kruger & Dunning, 2019). Mereka tampil percaya diri, lantang berbicara, dan tampak yakin atas setiap keputusan, padahal keyakinan itu lahir dari ketidaktahuan akan batas diri. Sebaliknya, mereka yang sebenarnya layak justru sering dilanda keraguan, karena memiliki kesadaran yang tinggi terhadap kompleksitas masalah dan tanggung jawab moral.

Kelayakan, pada titik tertentu, berubah menjadi ilusi sosial. Dalam psikologi organisasi kontemporer, fenomena ini disebut impression management — upaya menciptakan kesan positif tanpa memperkuat substansi (Gardner et al., 2020). Pemimpin berlomba membangun citra: melalui gestur, retorika, dan media. Kelayakan diukur dari jumlah pengikut, bukan dari arah kebijakannya; dari tepuk tangan publik, bukan dari kesejahteraan yang tercipta.
Namun di sisi lain, ada dimensi moral yang lebih dalam. Burns (1978) berbicara tentang transformational leadership — kepemimpinan yang memotivasi, mengangkat nilai moral, dan mengubah pengikut menjadi manusia yang lebih sadar. Pandangan ini kemudian diperbarui oleh penelitian Yukl (2019) dan Northouse (2021) yang menekankan moral purpose sebagai inti kepemimpinan etis. Seorang pemimpin sejati bukan sekadar efektif, tetapi juga benar secara etika.

Sayangnya, masyarakat juga berperan dalam menciptakan pemimpin yang “tidak layak tapi disukai”. Kita sering lebih menghargai pemimpin yang pandai tampil ketimbang yang tekun bekerja. Dalam teori psikologi sosial, ini dikenal sebagai social validation (Cialdini, 2021): sesuatu dianggap benar karena banyak orang mengakuinya. Maka lahirlah budaya “like” dan “viral” yang menggantikan penilaian rasional dengan emosi sesaat.

Lalu, bagaimana menemukan kelayakan sejati?
Jawabannya mungkin terletak pada kesadaran diri (self-awareness). Penelitian terkini oleh Riggio (2022) menegaskan bahwa pemimpin yang sadar diri lebih mampu mengenali keterbatasan dan membangun kepercayaan kolektif. Kelayakan sejati bukan berarti tanpa cacat, melainkan berani bercermin dan memperbaiki diri. Pemimpin yang layak bukan yang merasa paling tahu, tetapi yang paling mampu belajar.

Pada akhirnya, “layak” dan “tidak layak” bukan sekadar status jabatan, melainkan kondisi batin. Pemimpin yang layak adalah ia yang terus menimbang, mempertanyakan, dan mengasah dirinya. Ia yang tidak tergoda untuk tampak sempurna, tapi berani untuk jujur, salah, dan berubah.

Dan mungkin, seperti kata seorang bijak, yang paling layak memimpin adalah mereka yang paling takut untuk berkuasa — sebab hanya mereka yang tahu betapa beratnya tanggung jawab yang melekat di balik kekuasaan.

Referensi: 
Avolio, B. J., & Walumbwa, F. O. (2020). Authentic Leadership Development: Psychological Perspectives. Leadership Quarterly.
Burns, J. M. (1978). Leadership. Harper & Row.
Cialdini, R. (2021). Influence: The Psychology of Persuasion (Rev. ed.). Harper Business.
Gardner, W. L., et al. (2020). Impression Management in Leadership Contexts. Journal of Leadership & Organizational Studies.
Goleman, D. (2018). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Bantam.
Kruger, J., & Dunning, D. (2019). Unskilled and Unaware Revisited: Cognitive Bias in Leadership Evaluation. Personality and Social Psychology Bulletin.
Northouse, P. (2021). Leadership: Theory and Practice (9th ed.). Sage.
Riggio, R. E. (2022). Leadership and Self-Awareness: Contemporary Approaches. Routledge.
Yukl, G. (2019). Leadership in Organizations (9th ed.). Pearson.

Posting Komentar

0 Komentar