Konon, amanah disebut sebagai sesuatu yang ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Ketiganya menolak, bukan karena tak sanggup, melainkan karena sadar akan dahsyatnya konsekuensi. Lalu manusialah yang menerima, dengan segala keterbatasannya
Oleh: Denni Meilizon
ADA kata-kata yang lahir dari mulut manusia, namun mengandung gema dari langit. Salah satunya: amanah. Sebuah kata yang tampaknya ringan di lidah, namun mengandung berat beban semesta. Amanah bukan sekadar tugas yang dibebankan, melainkan cahaya yang dititipkan kepada sang jiwa yang bersedia memikul tanggung jawab di hadapan sesama dan di hadapan Tuhan.
Konon, amanah disebut sebagai sesuatu yang ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Ketiganya menolak, bukan karena tak sanggup, melainkan karena sadar akan dahsyatnya konsekuensi. Lalu manusialah yang menerima, dengan segala keterbatasannya. Di sinilah manusia kemudian menemukan esensi dari keberadaannya: bahwa ia merupakan penjaga dari sesuatu yang bukan miliknya, tetapi dipercayakan kepadanya.
Amanah bukanlah perkara formalitas. Ia bukan sekadar surat keputusan, tanda tangan kontrak, atau gelar jabatan. Ia adalah sebentuk bisikan nurani yang tak henti mengingatkan manusia akan tanggung jawab yang hakiki. Menunaikan amanah berarti menjaga kepercayaan yang tak selalu tampak, tetapi terasa keberadaannya dalam hati. Ia adalah benteng dari serangan kelicikan, penjaga dari pengkhianatan, dan penuntun agar manusia tetap berjalan di jalan yang lurus ketika mana jalan-jalan lain tampaknya lebih mudah lagi menggiurkan.
Imam Al-Ghazali pernah berkata, "Sesungguhnya amanah adalah buah dari kejujuran, dan kejujuran adalah pokok dari segala kebaikan." Amanah adalah akar dari akhlak mulia, sumber dari segala bentuk etika yang murni. Tanpa amanah, tak ada yang namanya integritas. Dan tanpa integritas, kemanusiaan dipastikan akan kehilangan arah.
Merujuk pula kita kepada pandangan para filsuf, amanah adalah inti dari kebebasan yang bertanggung jawab. Seperti Sartre yang menyebut manusia “dikutuk untuk bebas”, karena dalam kebebasannya, ia tak lagi bisa menyalahkan takdir. Maka menerima amanah bukanlah takdir, melainkan pilihan. Dan setiap pilihan mengandung pertanggungjawaban yang tak bisa dihindari. Amanah, dengan demikian, adalah bentuk tertinggi dari keberanian eksistensial—keberanian untuk setia pada sesuatu yang lebih besar daripada diri.
Kahlil Gibran, salah seorang Penyair favorit saya dalam puisinya yang pekat makna, berkata: "Kepercayaan adalah benih yang ditanam dalam tanah jiwa. Jika engkau menyiraminya dengan kesetiaan, ia akan tumbuh menjadi pohon keberkahan." Bagi sang Penyair, amanah tampaknya bukan hanya sekadar beban, melainkan ladang kehidupan belaka yang, jika dipelihara, akan melahirkan kebaikan bagi banyak jiwa.
Sementara dalam pandangan sosiologis, amanah merupakan jembatan yang tak kasat mata, menghubungkan individu dengan tatanan sosial. Ia adalah ruh dari kepercayaan publik, fondasi dari lembaga-lembaga, dan darah yang mengalir dalam tubuh masyarakat. Manakala amanah dilanggar, yang retak bukan hanya kepercayaan personal, tetapi seluruh bangunan sosial bisa runtuh bagaikan istana pasir.
Max Weber, sosiolog besar Jerman, telah mengingatkan bahwa jabatan dan kekuasaan dalam masyarakat modern bukanlah hak turun-temurun, tetapi diberikan berdasarkan kepercayaan yang rasional. “Kekuasaan yang sah,” katanya, “bertumpu pada legitimasi kepercayaan.” Bila kepercayaan hilang, maka kekuasaan pun akan kehilangan martabatnya.
Di zaman ini, ketika kita menyaksikan kata - kata semakin kehilangan maknanya dan kepercayaan menjadi barang langka, kita dipanggil untuk kembali pada akar yang dalam yakni menjadi manusia yang bisa dipercaya. Bukan karena diawasi, bukan karena telah mendapat gaji, tapi karena sadar bahwa hidup ini sendiri sudah mewujud sebagai amanah. Napas kita adalah titipan. Waktu kita adalah pinjaman. Dan segala yang kita miliki—kuasa, ilmu, harta, bahkan cinta—adalah beban yang kelak niscaya akan dimintai pertanggungjawaban.
Rumi, penyair sufi dari Persia, juga salah seorang Penyair favorit saya tentunya, mengingatkan kita pula dengan alunan larik yang penuh kelembutan nan menusuk begini:
"Kau dilahirkan dengan sayap, mengapa memilih merangkak? Kau dipercayakan cahaya, mengapa berjalan dalam gelap?"
Ya, agaknya kita sependapat bahwa amanah adalah cahaya. Dan barangsiapa yang diberi cahaya, maka tugasnya bukan hanya menjaganya agar tak padam, tetapi juga dituntut menjadikannya pelita bagi jalan hidup yang gelap. Dunia tidak kekurangan orang pandai, tidak kekurangan orang kuat. Dunia ini hanya sedang kekurangan orang yang benar-benar amanah.[]
-----
Catatan Kaki:
1. Imam Al-Ghazali (1058–1111): Teolog, filsuf, dan sufi besar dari dunia Islam abad pertengahan. Pemikirannya menekankan pentingnya moralitas dan penggabungan antara akal dan iman. Karya terkenalnya termasuk "Ihya' Ulumuddin".
2. Kahlil Gibran (1883–1931): Penyair, pelukis, dan filsuf kelahiran Lebanon yang berkarya di Amerika. Karyanya "The Prophet" dikenal luas karena gaya puisi reflektif dan spiritual.
3. Max Weber (1864–1920): Sosiolog dan ekonom politik asal Jerman. Salah satu pelopor sosiologi modern, terkenal lewat analisis tentang etika Protestan dan rasionalisasi birokrasi.
4. Jalaluddin Rumi (1207–1273): Penyair sufi dan pemikir spiritual yang menulis dalam bahasa Persia. Lahir di Balkh (kini Afghanistan), menetap di Konya (Turki sekarang). Karya-karyanya, seperti "Masnawi", menjadi warisan agung dalam sastra dan spiritualitas dunia Islam.
**Penulis adalah Wakil Ketua PD Muhammadiyah Kabupaten Pasaman Barat, Menulis beberapa buku dan mengelola komunitas FPL Pasaman Barat.
0 Komentar